Ironi Guru Honorer, Gaji Rp250 Ribu Hingga Adukan Paruh Waktu ke DPRK Aceh Tengah 

101
SHARES
560
VIEWS

Ada yang mengabdi belasan tahun, tapi kalah oleh mereka yang baru setahun. Ada yang menggantungkan hidup pada gaji tak seberapa, namun tetap dipaksa tersenyum. Ada yang diminta bersabar, tapi kesabaran sudah lama habis. Di mana keadilan yang dijanjikan

HARIE.ID, TAKENGON | Ulil Amri, seorang guru sekolah dasar, berbicara dengan getir. Ia dan rekan-rekan sejawatnya telah lama berjuang dalam pengabdian, doa, dan kesabaran.

Namun, ketika harapan mulai menyala, aturan berubah, tahapan seleksi semakin membingungkan, dan ketidakpastian menjadi bagian dari kehidupan mereka.

BACA JUGA

“Tahap 1 belum jelas, dibuka lagi tahap 2. Guru 359 orang, teknis 1.002 orang, total 1.361 yang masih bertahan. Tolong kami, yang tua-tua ini, dibandingkan dengan yang muda, bagaimana kami yang sudah lama mengabdi,” katanya saat melakukan audiensi dengan DPRK Aceh Tengah, Kamis 30 Januari 2025.

Mereka tak meminta banyak, hanya kejelasan. Mereka tidak menolak persaingan, tapi bagaimana bisa adil jika mereka yang sudah belasan tahun mengajar harus berhadapan dengan yang baru setahun.

“Kami mohon, jangan lagi paruh waktu. Kami ingin kejelasan. Berapa gajinya, R250 ribu, Rp200 ribu, Rp400 ribu, Rp600 ribu, kenapa beda-beda? Katanya dulu sesuai UMR Kabupaten, kami ingin tahu, kenapa sekarang justru diperlakukan berbeda,” katanya.

Ia pun menyampaikan keluh kesah dalam bahasa Gayo, “Kami namat laptop PE Gere pane pak,” namun mereka harus berjuang tanpa sarana yang layak. Gaji 250 ribu sebulan, apakah itu layak untuk dibawa pulang.

Lain itu, guru honorer di sekolah swasta di bawah naungan Kementerian Agama (MAS) mengalami nasib serupa, bahkan lebih menyakitkan.

Riko, seorang guru di MAS Blang Mancung, menuturkan, sejak sekolah itu berdiri pada 2011 hingga 2025 ia terus mengabdikan diri dengan upah Rp250 ribu.

“Kami tidak kenal siapa yang mengurus data. Yang kami tahu, pagi kami mengajar, mendidik generasi bangsa. Tapi kami menilai dari tahun ke tahun, siapa yang dekat dengan pejabat, dia yang cepat diangkat. Ada saudara, maka mulus jalannya. Kami? Hanya bisa melihat,” ujarnya dengan nada getir.

Lebih dari 700 guru honorer kata dia, di sekolah swasta kini merasa seperti anak tiri. Semua sekolah negeri penuh dengan pegawai P3K, bahkan ada yang mengambil jam mengajar di swasta.

“Solusinya apa? Jam mengajar diambil oleh yang P3K, kami di swasta gigit jari. Kalau pun di 2025 dibuka jalur umum, tolong teknis pelaksanaan diatur. Minimal 5 tahun mengajar baru bisa ikut seleksi. Ini tidak, baru setahun lulus, keluhnya.

Saat mereka mempertanyakan kebijakan ini, jawaban yang diterima hanya satu: “Oh, tidak ada dalam peraturan.”

“Omong kosong! Aturan kan kalian yang buat!” kata Riko dengan suara bergetar.

Kesabaran mereka seperti nya hampir habis. Jika tahun ini sebutnya tidak ada kejelasan, maka mereka akan mengambil langkah ekstrem.

“Kalau tahun ini tidak terlaksana juga, maka bapak ibu pejabat yang ada di sini turun saja dari gedung ini,” ujarnya.

Tak hanya itu, ancaman yang lebih serius pun mulai terdengar.

“Kalau juga tidak terlaksana, mungkin kami bersama guru – guru honor lainnya resign saja mengajar. Silakan kalian mengajar, kami kembali berkebun,” katanya.

Ini bukan gertakan kata nya. Ini adalah puncak dari kekecewaan yang bertahun-tahun dipendam. Mereka lelah mendengar janji manis, lelah menunggu solusi yang tak kunjung datang.

“Kami senang ketika mau dibantu. Tapi saat pejabat datang ke sekolah, kami yang keluar uang. Kami beli kue, siapkan kopi, berikan oleh-oleh. Bukan sekali dua kali. Tapi apa yang kami dapat? Hanya kata-kata, ‘Nanti kita pikirkan.’ Dua hari kemudian, semua lupa. Ini kan penyakit” kata Riko.

Mereka hanya ingin diakui, dihargai, dan diperlakukan dengan adil. Mereka telah mengabdi puluhan tahun. Kini sudah 2025. Masihkah mereka harus terus menunggu tanpa kepastian.

| ARINOS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI