HARIE.ID, TAKENGON | Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat atau nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) semakin dilanda frustrasi akibat status maintenance yang berkepanjangan utamanya pada aplikasi Byond.
Di tengah gelombang keluhan dan ketidakpuasan nasabah berharap sosok Mualem, Gubernur Aceh yang akan dilantik untuk menghadirkan kembali Bank konvensional di Aceh.
Sejak awal pekan ini, pengguna aplikasi BSI Byond di seluruh penjuru Aceh telah melaporkan kendala serius dalam mengakses layanan perbankan digital
Begitu juga dengan pelaku UMKM yang bergantung pada aplikasi tersebut untuk melakukan transaksi harian, namun upaya ini terhambat, seolah-olah sistem telah berlibur tanpa pemberitahuan resmi.
“Kami merasa seperti di tengah pertunjukan sirkus, di mana janji layanan cepat dan andal hanyalah mitos,” kata salah satu nasabah, Selasa 11 Februari 2024.
“Setiap kali aplikasi down, kami harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencari alternatif, padahal waktu itu sangat berharga bagi usaha kami,” timpalnya.
Kritik pun mulai terdengar, menyasar manajemen BSI yang dianggap kurang transparan dan lambat merespon permasalahan.
Banyak yang menyindir, maintenance berkepanjangan sudah menjadi ‘standar operasional’ di BSI Byond, ironisnya, di era digital yang menuntut kecepatan, aplikasi ini seolah terjebak dalam “modus nostalgia” dengan teknologi yang usang.
Para pengguna tidak segan-segan menyuarakan kekecewaan mereka dengan nada sarkastik.
“Mungkin BSI sedang mencoba menciptakan tren baru, slow banking yang membolehkan pelanggan menikmati waktu senggang sambil menunggu transaksi selesai,” tulis salah seorang pengguna di media sosial.
Platform media sosial milik BSI di “Hajar” habis – habisan oleh netizen, bahkan, sejumlah akun turut menonaktifkan kolom komentar.
Banyak yang mempertanyakan apakah bank yang seharusnya memimpin inovasi keuangan justru memilih untuk “beristirahat” pada saat yang paling krusial.
Ketidakpastian ini bukan hanya merugikan UMKM, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional.
“Kami berharap ada pembenahan mendasar, bukan sekadar perbaikan patchwork yang hanya menutupi masalah sementara,” kata salah satu nasabah Wiratmanto.
“Layanan perbankan harus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, bukan sebaliknya,” timpalnya.
Begitu juga dengan Badri Linge, ia mengkritik keras sistem perbankan modern yang, menurut nya telah melupakan akar nilai-nilai kemanusiaan.
Ia menyebut, jika sistem digital bank syariah terus saja bermasalah, sudah waktunya kembali ke era Bank konvensional.
“Ini bukan sekadar soal aplikasi yang error atau sistem yang down. Ini tentang bagaimana sebuah institusi perbankan dapat kembali relevan dengan kebutuhan masyarakat modern tanpa melupakan sentuhan kemanusiaan,” kata Badri .
Di tengah berbagai keluhan dan harapan yang berseliweran, satu hal yang pasti, ketidakpuasan terhadap layanan BSI telah mencapai puncaknya.
Dengan maintenance yang berkepanjangan dan respon yang lambat, bank ini seolah tak menyadari bahwa dalam era digital, kecepatan dan akurasi adalah mata uang yang paling berharga.
Ironisnya, sementara para nasabah menunggu, para eksekutif seolah sibuk dengan pertemuan dan rapat internal yang penuh jargon, seolah-olah dunia perbankan modern sudah kembali ke masa lalu.
Kritik ini berkembang di ranah publik menjadi cermin realita bahwa inovasi tidak cukup jika tidak diimbangi dengan pelayanan yang memadai.
“Mungkin BSI perlu mengadakan ‘maintenance of the soul’ sebelum mengklaim diri mereka sebagai bank digital yang modern,” sindir Badri menggambarkan betapa jauh jurang antara janji dan realita.
Ia berharap, BSI harus segera mengambil langkah nyata untuk mengatasi masalah pada aplikasi Byond dan mengembalikan kepercayaan nasabah yang semakin rapuh.
Kegagalan memperbaiki sistem digital bukan hanya merugikan pelaku UMKM, tetapi juga menodai reputasi bank yang seharusnya menjadi pionir dalam inovasi keuangan.
| **