Seperti kata pepatah, “lebih baik memperbaiki atap yang bocor sebelum hujan turun,” tindakan preventif perlu diambil sebelum masalah semakin membesar.
HARIE.ID, TAKENGON | Di tengah hamparan perbukitan dan kesejukan udara dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah menyimpan sebuah ironi.
Kebijakan Zona Nilai Tanah (ZNT) yang sejatinya dirancang untuk menata administrasi pertanahan dan meningkatkan pendapatan daerah, justru menjadi polemik yang dinilai membebani masyarakat.
Seperti pepatah “hendak memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai,” niat baik pemerintah daerah tampaknya belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Pada 5 Juni 2023 lalu, Bupati Aceh Tengah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 590/331/DPKAT/2023 tentang penentuan nilai pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Tujuannya mulia, mengetahui harga pasar tanah di Aceh Tengah, baik di kota maupun di desa. Namun, seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak,” kebijakan ini ternyata menyisakan celah yang menimbulkan keluhan di masyarakat.
Sejak penerapan ZNT, biaya pengurusan sertifikat dan alih sertifikat tanah melonjak tajam. Masyarakat yang hendak mengurus legalitas tanahnya harus merogoh kocek lebih dalam.
“Ngurus sertifikat kini sangat mahal, begitu juga dengan alih sertifikat juga mahal sekali,” begitu kira – kira keluhan warga.
Keluhan ini tak hanya disampaikan ke awak media, melainkan riuh dibahas di Media Sosial.
Ironisnya, kebijakan yang seharusnya mempermudah justru mempersulit rakyatnya sendiri.
Penerapan ZNT di Aceh Tengah dinilai lemah dan belum memiliki kepastian hukum. Regulasi yang ada dianggap tidak cukup jelas dan kuat untuk mengatur zona-zona nilai tanah dengan baik.
Akibatnya, banyak lahan yang diberi nilai yang tidak wajar, menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik tanah. Seperti membangun istana di atas pasir, fondasi hukum yang rapuh hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Desakan untuk evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ZNT datang dari berbagai pihak, termasuk anggota DPRK Aceh Tengah. Mereka menilai bahwa kebijakan ini tidak wajar dan memberatkan masyarakat.
Pemerintah diharapkan segera melakukan revisi agar masyarakat tidak lagi terhambat dalam pengurusan legalitas tanah mereka.
Seperti kata pepatah, “lebih baik memperbaiki atap yang bocor sebelum hujan turun,” tindakan preventif perlu diambil sebelum masalah semakin membesar.
Menanggapi berbagai keluhan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah akhirnya mengadakan diskusi publik dan pertemuan terbuka dengan masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya sebelum melakukan revisi kebijakan ZNT.
Pemerintah menargetkan revisi peraturan ZNT dapat segera diselesaikan agar masyarakat tidak lagi terhambat dalam pengurusan legalitas tanah mereka.
Akhirnya, Bupati Haili Yoga melakukan optimalisasi administrasi pertanahan berdampak yang positif pada peningkatan pendapatan daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Bupati menegaskan, seluruh prosedur jual beli, peralihan hak, dan pembuatan akta tanah melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah kembali normal.
Selain itu, pemerintah menetapkan tarif layanan pertanahan dengan harga terendah sesuai peraturan, guna memastikan akses bagi seluruh masyarakat tanpa beban biaya berlebihan.
“Kami telah memangkas birokrasi yang menyulitkan, demi mempermudah pelayanan kepada masyarakat,” tegasnya.
Kebijakan ZNT di Aceh Tengah menjadi cerminan bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa perencanaan dan implementasi yang matang.
Seperti menanam padi di ladang yang tandus, hasilnya tidak akan maksimal jika tidak diiringi dengan upaya yang tepat.
Semoga ke depan, kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada masyarakat, bukan malah menjadi beban.
| REDAKSI