HARIE.ID, TAKENGON | “Otsus pergi, APBD menangis?” Pertanyaan ini mungkin terdengar berlebihan, tapi tidak bagi Aceh Tengah yang tengah bersiap menghadapi realitas pahit berkurangnya aliran dana dari pusat.
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, di bawah kepemimpinan Bupati Haili Yoga dan Wakil Bupati Muchsin Hasan, kini dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga stabilitas keuangan daerah.
Berdasarkan Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Aceh Tengah dan Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2026, proyeksi pendapatan daerah menunjukkan angka yang menarik dan sedikit mengkhawatirkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp 181,17 miliar, tetapi justru turun tipis menjadi Rp 176,81 miliar pada 2026. Kabar baiknya, angka ini kembali naik hingga Rp 197,56 miliar pada 2030.
Namun, angka ini tetap belum cukup jika dibandingkan dengan kebutuhan daerah yang semakin meningkat.
Sumber utama PAD, seperti pajak daerah, retribusi, serta hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, masih harus bekerja keras agar bisa menopang perekonomian daerah.
Di sisi lain, pendapatan transfer dari pemerintah pusat tetap menjadi “penolong utama” bagi kas daerah.
Pada tahun 2025, transfer dari pusat diproyeksikan mencapai Rp 1,18 triliun dan terus mengalami kenaikan hingga Rp 1,25 triliun pada 2030.
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) masih menjadi tulang punggung keuangan daerah, dengan dana bagi hasil dan dana desa ikut menyumbang pemasukan.
Namun, angka-angka ini tidak serta-merta membuat Pemkab Aceh Tengah bisa bernapas lega. Salah satu pukulan telak yang akan datang adalah berakhirnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) pada 2027.
Ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan sumber daya krusial yang selama ini menopang pembangunan di Aceh Tengah.
Belum cukup sampai di situ, pengurangan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan Dana Alokasi Umum (DAU) dari sektor PUPR juga menjadi ancaman nyata bagi rencana pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, belanja pegawai terus membengkak, terutama karena penyelesaian tenaga honorer dan pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Ibarat kapal di tengah badai, Pemkab Aceh Tengah harus memutar otak agar tidak karam di tengah tantangan finansial yang semakin berat.
Untuk menghadapi kondisi ini, Pemkab Aceh Tengah di bawah kepemimpinan Haili Yoga dan Muchsin Hasan tidak bisa hanya bergantung pada “uang jatuh dari langit.”
Diperlukan strategi kreatif agar pendapatan daerah tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh.
Dalam Rancangan Awal (Ranwal) RPJMD Aceh Tengah tahun 2025-2029 dan rancangan RKPD tahun 2026 dicantumkan beberapa upaya, diantaranya:
Creative Financing, skema pembiayaan inovatif seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), pemanfaatan Corporate Social Responsibility (CSR), hingga eksplorasi dana karbon untuk mendanai proyek strategis.
Optimalisasi PAD, meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dan retribusi, serta mengelola aset daerah agar menghasilkan pendapatan lebih maksimal.
Pemberdayaan BUMD dan BUMDes, mendorong Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk berkontribusi lebih besar dalam pendapatan daerah, bukan sekadar menjadi ‘beban’ yang terus disubsidi.
Jika strategi ini berhasil, Aceh Tengah mungkin bisa selamat dari ‘badai keuangan’ yang mengintai di depan mata.
Namun, jika hanya sekadar janji tanpa implementasi nyata, jangan heran jika beberapa tahun ke depan, judul berita bukan lagi “Otsus Pamit, APBD Menjerit,” tetapi “Anggaran Seret, Program Molor, Rakyat yang Kena Getah!”
| ARINOS