“Jika danau bisa menangis, mungkin airnya sudah asin oleh air mata. Tapi karena ia diam, maka biarlah suara rakyat dan pemimpin yang bersuara. Dan hari ini, suara itu adalah ultimatum”
HARIE.ID, TAKENGON | Sebuah keputusan tegas digemakan dari jantung Tanoh Gayo. Rapat koordinasi yang digelar Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bersama unsur Forkopimda tak lagi menyisakan ruang untuk basa-basi. Danau Lut Tawar, kebanggaan masyarakat Gayo yang sejuk dan elok itu, kini terancam oleh tangan-tangan jahil yang tak kenal malu, para oknum penimbun, yang menganggap garis danau bisa digeser semaunya.
Wakil Bupati Aceh Tengah, Muchsin Hasan, berbicara lugas dan berharap koordinasi antara Camat, Reje, Danramil dan Kapolsek terus dilakukan untuk menghentikan tindakan ini.
“Kalaupun ada nanti tindakan-tindakan oknum masyarakat yang menimbun, ini langsung kita tegur,” katanya, Rabu 07 Mei 2025.
Bukan sekadar wacana. Ini kesepakatan hasil rapat, yang melibatkan kepala desa, camat, Kejaksaan, Pengadilan, MPU, Kodim 0106 dan pihak Kepolisian.
Teguran ini bukan basa-basi di musim hujan, melainkan peringatan keras. Kalau masih juga pura-pura tuli, maka penindakan bukan lagi janji, tapi keniscayaan.
“Kami bersama Bapak Bupati berkomitmen, tidak boleh ada reklamasi penambahan lokasi ke Danau Lut Tawar. Ini jelas. Apalagi Danau ini masuk dalam RPJM Nasional 2025-2029, ini harus kita sambut dengan baik,” tandasnya.
Lebih dari sekadar regulasi, ini tentang moralitas. Tentang bagaimana manusia memperlakukan alam dan menghormati warisan.
Menimbun bibir danau bukanlah sekadar pelanggaran tata ruang. Itu adalah tamparan bagi akal sehat dan tikaman terhadap ekosistem yang selama ini menjadi nafas hidup masyarakat Aceh Tengah.
Mereka yang tega mengubah tepian danau menjadi halaman pribadi tampaknya lupa, bahwa Danau Lut Tawar bukan milik pribadi, bukan pula lahan tidur yang bisa disulap jadi resort dadakan.
Ia milik generasi. Tempat lahirnya sejarah, tumbuhnya budaya, dan berputarnya ekonomi rakyat.
Rapat tersebut juga menyoroti persoalan klasik, keberpihakan hukum. Beberapa reje kampung menyampaikan aspirasi terkait ulah oknum ini.
“Semua harus ditertibkan. Saya tidak sebut lokasi. Mohon jangan tebang pilih,” kata mereka, sebuah sindiran halus, bahwa hukum tak boleh jadi pelayan untuk yang punya jabatan atau nama belakang yang berat.
Pemkab Aceh Tengah telah menyiapkan langkah nyata. Setelah penertiban Cangkul Padang dan Dedem usai, tim gabungan akan diturunkan. Tidak untuk pencitraan, melainkan untuk membersihkan apa yang sudah dikotori oleh keserakahan.
Termasuk pembersihan DAS Peusangan, yang akan dipercantik demi menyambut Aceh Tengah sebagai destinasi wisata domestik dan internasional.
“Apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita kalau tidak sejak hari ini kita jaga,” jelas Muchsin Hasan.
Sebab kalau dibiarkan, bukan tak mungkin akan datang masa di mana generasi mendatang hanya bisa melihat Danau Lut Tawar di kartu pos usang, sambil bertanya, “Kenapa kalian diam saat kami masih punya danau?”
Tidak semua yang diam itu lemah. Kadang, diamnya danau hanya sedang menunggu gelombang terakhir, gelombang perlawanan dari rakyat yang mulai muak, dan pemerintah yang tak lagi mau membiarkan.
| ARINOS