HARIE.ID, TAKENGON | Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan geliat sektor pariwisata di dataran tinggi Gayo, Anggota DPRK Aceh Tengah, Abadi Ayus, usul pemkab mendirikan sebuah Tugu Depik di pintu masuk kawasan wisata Danau Lut Tawar.
Usulan ini bukan semata-mata untuk mempercantik kawasan, tetapi berangkat dari keprihatinan atas keberadaan ikan Depik, spesies endemik yang hanya hidup dan berkembang di Danau Lut Tawar.
Dalam keterangannya, Abadi menyebut, ikan mungil ini mulai langka, bahkan disebut-sebut berada di ambang kepunahan.
“Depik bukan sekadar ikan. Ia adalah simbol kearifan lokal, sumber ekonomi nelayan terdahulu hingga hari ini, ikan ini adalah warisan alam, dan kebanggaan masyarakat Gayo. Maka sudah seharusnya ia diabadikan, diperkenalkan, dan dilestarikan. Salah satunya melalui tugu ikonik yang bisa menjadi daya tarik wisatawan,” ujar Abadi Ayus kepada Harie.id, Sabtu 17 Mei 2025.
Lebih dari sekadar patung atau bangunan peringatan, tugu ini dimaksudkan sebagai simbol yang sarat pesan ekologis dan budaya.
Keberadaan ikan Depik kata dia hanya bisa bertahan di perairan Danau Lut Tawar menjadikannya unik dan tak tergantikan.
Namun, seiring berkembangnya aktivitas manusia dan menurunnya kualitas air danau, populasi Depik dilaporkan terus menurun.
Menurut Abadi, tugu ini bisa menjadi pengingat visual bagi setiap orang yang masuk ke kawasan danau, bahwa mereka sedang memasuki wilayah habitat spesies langka yang harus dijaga kelestariannya.
“Wisata tak hanya soal pemandangan dan foto-foto. Tapi juga tentang pengalaman, edukasi, dan rasa hormat terhadap alam. Dengan adanya Tugu Depik, kita mengemas edukasi lingkungan dalam bentuk yang menarik dan menyentuh,” tambah Ketua Partai Hanura Aceh Tengah ini.
Bagi masyarakat Gayo tambahnya, Depik bukan hanya fauna biasa. Ia sudah lama hadir dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam tradisi kuliner lokal.
Makanan khas seperti pengat depik, depik goreng kering atau menjadi bagian penting dalam hajatan adat dan acara keluarga.
Namun, generasi muda kini mulai jarang melihat ikan ini secara langsung, apalagi memahami perannya dalam budaya lokal.
Inilah yang menjadi kekhawatiran Abadi Ayus, kelangkaan Depik bukan hanya kerugian ekologis, tapi juga kehilangan identitas daerah.
“Jika kita tidak bergerak sekarang, anak cucu kita mungkin hanya akan melihat Depik dari foto atau cerita. Padahal, ia adalah bagian dari siapa kita. Dan kehilangan itu terlalu mahal untuk dibayar hanya karena kita lalai,” tegasnya.
Abadi juga mendorong agar Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak hanya melihat tugu ini sebagai proyek estetika, tetapi sebagai bagian dari strategi besar pengelolaan wisata dan pelestarian alam.
Ia berharap usulan ini bisa masuk dalam prioritas pembangunan kawasan wisata berbasis kearifan lokal.
Selain tugu, langkah nyata seperti edukasi masyarakat, pengendalian pencemaran danau, hingga riset tentang pelestarian ikan Depik juga harus dilakukan secara paralel.
“Tugu ini akan jadi awal, bukan akhir. Dari sana kita bisa membangun kesadaran publik, membangkitkan rasa memiliki, dan menciptakan wisata yang bukan hanya indah, tapi juga bermakna,” demikian kata Abadi Ayus sembari menyebut ia siap mendesain tugu tersebut jika dibutuhkan.
| ARINOS