Oleh: Bentara Linge
Dalam tradisi dan kearifan lokal masyarakat Gayo, konsep pertahanan dan keamanan bukanlah hal baru. Sejak zaman dahulu, masyarakat Gayo telah mengenal sistem pengamanan kampung berbasis adat yang dikenal dengan istilah “bebujang iserami, kiding pantas peger nenggeri.”
Kalimat ini mengandung makna mendalam, para pemuda kampung berkumpul dalam satu bangunan bernama serami, tempat mereka bermusyawarah dan merancang strategi menjaga kampung baik dari gangguan hewan buas maupun ancaman dari luar.
Inilah bentuk awal dari sistem teritorial yang bersumber dari nilai-nilai lokal, bukan dari kekuatan senjata semata, tetapi dari rasa memiliki, tanggung jawab bersama, dan solidaritas sosial yang kokoh.
Dalam filosofi ke-Gayo-an, ada empat prinsip utama yang menjadi penopang pertahanan sosial dan budaya
1. Denie terlangis, Orang Gayo memiliki dan menjaga wilayahnya, baik secara turun-temurun (manat petenah) maupun secara administratif. Tanah ini bukan sekadar ruang, tetapi warisan yang harus dijaga.
2. Nahma teraku, Adat budaya Gayo adalah identitas yang besar dan luhur. Ia bukan hanya untuk dipahami, tapi juga untuk ditumbuh kembangkan, dijaga, dan diintegrasikan dalam kehidupan.
3. Malu tertawan, orang Gayo menolak penindasan. Ketika satu dizalimi, yang lain merasa dizalimi. Rasa malu menjadi alarm moral untuk bangkit.
4. Bela mutan, ketika wilayah, adat, atau martabat Gayo terancam, maka wajib hukumnya bagi setiap orang Gayo untuk membela, meskipun nyawa taruhannya.
Dalam struktur sosial Gayo juga dikenal ritual penesah dan penesoh. Penesah adalah proses adat menerima seseorang menjadi bagian dari masyarakat Gayo, ikrar keterikatan dan kesediaan hidup dalam aturan adat.
Sementara penesoh adalah proses melepaskan ikatan adat saat seseorang atau sekelompok orang pindah dari satu kampung ke kampung lain.
Kedua proses ini menunjukkan bahwa masyarakat Gayo memiliki sistem hukum, sosial, dan pertahanan yang holistik dan sakral sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 dan 33 dari Empat Puluh Lima Pasal Nenggeri Linge.
Pembangunan Batalyon Teritorial, Bukan Ancaman, Tapi Peluang
Dalam konteks ini, pembangunan Batalyon Teritorial YTP 854 di Aceh Tengah tidak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap kearifan lokal. Justru, jika dilaksanakan dengan bijak dan terbuka, ia berpeluang menjadi perpanjangan tangan dari nilai-nilai perlindungan yang telah diwariskan adat.
Rektor IAIN Takengon, Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MCL dalam sebuah pernyataan nya menyampaikan, satuan teritorial seperti ini sangat berpotensi menciptakan stabilitas keamanan, ketertiban, dan bahkan membuka ruang kolaborasi yang kuat antara aparat dan masyarakat.
Namun Rektor juga mengingatkan, agar seluruh program yang berjalan tetap selaras dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan riil masyarakat.
Hal ini penting, karena kekuatan Gayo tidak hanya terletak pada benteng fisik, tapi pada kedaulatan nilai dan kesadaran budaya. Selama pembangunan ini dilakukan dengan prinsip “masuk rumah adat, tahu adat,” maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Bahkan ini bisa menjadi peluang memperkuat hubungan antara masyarakat adat dan aparat negara dalam semangat musara, menghargai dan membesarkan satu sama lain.
Gayo bukan wilayah kosong yang menunggu identitas. Ia adalah tanah yang telah lama hidup dengan nilai, adat, dan semangat kebersamaan.
Maka, kehadiran Batalyon Teritorial ini bukanlah benturan dua dunia melainkan titik temu antara pertahanan modern dan pertahanan adat.
Yang diperlukan hanyalah komunikasi yang bijak, pelibatan masyarakat secara aktif, serta penghormatan terhadap kearifan lokal yang telah hidup jauh sebelum peta pertahanan nasional ditarik.
Bentara Linge adalah mantan Wakil Ketua Majelis Adat Gayo Periode 2020-2024