HARIE.ID | TAKENGON — Di gedung DPRK Aceh Tengah, suasana yang biasanya dingin tiba-tiba jadi panas. Bukan karena pendingin ruangan mati, tapi karena rakyat mempertanyakan aset daerah yang dinilai kian hari makin tak jelas ujung pangkalnya.
Ruko dan kios Pemda yang sejatinya menjadi penopang ekonomi rakyat kecil kini berubah, diduga diperdagangkan layaknya barang mewah di pasar gelap.
Massa menuding, ruko-ruko Pemda sudah tidak lagi dikuasai penyewa pertama. Mereka berpindah tangan, disewakan ulang dengan harga yang berbeda.
Tarif resmi Pemda hanya jadi angka formalitas, ibarat gincu di wajah kusam, tampak indah di luar, tapi busuk di dalam.
“Kalau begini caranya, untuk siapa sebenarnya kios Pemda dibangun? Untuk rakyat atau untuk perantara yang lihai memutar keuntungan?,” begitu kata peserta aksi di ruang sidang DPRK Aceh Tengah, Senin 01 September 2025.
Salah satu Kabid di Dinas Perdagangan Aceh Tengah, merinci angka-angka sewa dari buku regulasi. Rp4 juta, Rp10 juta, bahkan lebih.
Dengan wajah serius, ia seolah hendak berkata, “Ini loh datanya, sahih, resmi, tidak bisa dibantah.”
Namun sayang, rakyat yang hadir bukan hanya ingin mendengar dan diyakinkan dengan angka. Mereka menuntut realitas, bukan dongeng.
“Apakah bapak siap mempertanggungjawabkan apa yang bapak sampaikan?” suara Afhdlal memecah suasana.
Massa mengakui semua harga atau label sewa telah tercatat dalam aturan daerah. Namun yang mereka tuntut adalah dugaan alih fungsi yang dilakukan oleh penyewa pertama dari Pemkab Aceh Tengah ke pihak lain.
“Jika ditanya kios atau ruko itu milik siapa dan tanggung jawab siapa, tentu mereka menjawab milik penyewa pertama. Ironisnya yang ditanya itu adalah penyewa ke berapa,” tanya Massa.
Ketika perdebatan makin buntu, Bupati Aceh Tengah, Haili Yoga, akhirnya turun tangan. Dengan nada setengah jengkel, ia mengakui yang disampaikan Aliansi Gayo Merdeka tidak salah.
“Ini sifatnya tekhnis, kalau ini kita bahas tidak akan selesai, nanti akan kami undang kembali untuk membahas dan memastikan apakah tudingan ini benar, kita langsung cek,” kata Haili Yoga.
Massa tidak ingin, kios dan ruko yang semestinya membantu pelaku usaha malah jadi lahan empuk bagi pihak yang memutar sewa seperti roda judi.
Sewa pertama dilempar ke tangan kedua, lalu ke tangan ketiga. Ujung-ujungnya, harga melambung, rakyat kecil terpinggirkan. Begitu dugaan mereka.
Massa mendesak agar Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah menertibkan semua aset Pemda yang disewakan. Supaya disewakan ke pelaku usaha yang benar – benar ingin berusaha.
Sebab kalau tidak, kios Pemda akan tetap jadi milik “raja-raja kecil” yang berbisnis dari kursi belakang. Dan rakyat kecil? Tetap hanya penonton di pinggir jalan, sambil bertanya “aset daerah ini untuk siapa sebenarnya, rakyat atau segelintir penguasa bayangan”.
Seharusnya kata mereka, masalah ini tidak terjadi jika Dinas Perdagangan melakukan pengawasan ketat.
“Kami yakin mereka (pihak dinas) sudah tau masalah ini. Atau pura-pura tidak tahu, karena lebih nyaman menutup mata daripada berhadapan dengan kenyataan pahit? Jika benar pengawasan mereka lemah, bukankah itu sama saja dengan memberi karpet merah bagi para mafia kios,” kata peserta demo.
Aset yang dibangun dengan uang rakyat justru lebih banyak memberi untung pada segelintir pemain, bukan pada rakyat itu sendiri.
Alih-alih menambah PAD, praktik sewa diduga berlapis ini justru menguap potensi pemasukan daerah. Yang tersisa hanya angka-angka sementara keuntungan nyata mengalir ke kantong pribadi.
Di masa kepemimpinan Haili Yoga dan Muchsin Hasan massa meminta untuk melakukan: penertiban, menata ulang, dan memastikan kios benar-benar dimanfaatkan pelaku usaha kecil, bukan dijadikan bisnis lapak oleh calo berkedok penyewa.
“Kalau tidak, pemerintah daerah akan terus jadi bahan olok-olok rakyat. Bayangkan, aset daerah saja tidak sanggup mereka kelola, bagaimana mungkin mereka bisa mengelola kesejahteraan masyarakat,” kata Safaruda usai aksi berlangsung.
Diketahui, dalam hasil kesepakatan bersama itu satu poin dicantumkan terkait aset daerah, ruko dan kios Pemda. Massa menunggu undangan Bupati atu pihak terkait untuk melakukan audiensi ulang.
Laporan | Karmiadi