Menjaga Marwah Profesi Wartawan, Menjadi Pilar Demokrasi yang Bermartabat

Oleh: Mahbub Fauzie

Pernyataan tegas Ketua PWI Aceh Tengah, Kurnia Muhadi, sebagaimana dilansir media online lokal pada Jumat 19 September 2025 patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap marwah profesi wartawan yang mulia.

Dalam keterangannya baru-baru ini, beliau menyoroti adanya indikasi oknum yang mengaku-ngaku sebagai wartawan untuk melakukan tindakan pemerasan.

BACA JUGA

Sikap tegas untuk tidak membiarkan profesi ini dicederai adalah panggilan moral yang seharusnya menjadi kesadaran bersama—baik oleh pelaku media, masyarakat, maupun penegak hukum.

Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan mencari berita, tetapi sebuah amanah sosial dan tanggung jawab publik. Dalam sistem demokrasi, wartawan menempati posisi strategis sebagai pilar keempat yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan, hukum, dan suara rakyat.

Tanpa pers yang bebas, independen, dan bermoral, demokrasi akan kehilangan ruh-nya. Maka tepat apa yang dikatakan Kurnia Muhadi, bahwa “Pilar keempat demokrasi jangan dicederai. Ini profesi mulia, mari kita jaga bersama.”

Sebagai insan yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan menaruh minat pada dunia jurnalistik, saya meyakini bahwa profesi ini, jika dijalankan dengan integritas dan semangat amar ma’ruf nahi munkar, tidak ubahnya meneruskan kerja-kerja kenabian—profetik journalism.

Jurnalisme yang bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi mengedukasi, memberdayakan, dan membela nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Jurnalisme Profetik: Pilar Etis yang Menginspirasi

Jurnalisme profetik bukanlah istilah baru, tetapi sangat relevan dalam menjawab tantangan media kekinian yang kerap tergelincir pada sensasionalisme, kepentingan politik, dan motif pragmatis.

Konsep ini pernah saya tuliskan secara panjang lebar dalam artikel “Jurnalisme Profetik Tanpa Intrik”, terinspirasi dari pemikiran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik.

Ada tiga nilai utama yang menopang jurnalisme profetik: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi mengangkat harkat dan martabat manusia, menghindari eksploitasi dan stigma.

Liberasi mendorong pembebasan dari penindasan dan ketidakadilan. Dan transendensi menautkan seluruh aktivitas jurnalistik kepada nilai spiritual dan keimanan.

Ketika seorang wartawan menulis bukan karena ingin viral atau mendapat amplop, melainkan karena ia terpanggil untuk menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan publik, di sanalah jurnalisme profetik menjelma nyata.

Ia tidak memanipulasi data, tidak memburu sensasi, dan tidak bermain dalam intrik kekuasaan. Ia berdiri di jalan yang lurus, sekalipun sepi.

Wartawan: Penjaga Fakta dan Nurani Bangsa

Wartawan yang sejati bekerja berdasarkan prinsip 5W + 1H: What, Who, When, Where, Why, dan How. Namun lebih dari itu, mereka juga mengedepankan 3H lainnya: Heart (hati nurani), Honesty (kejujuran), dan Humanity (kemanusiaan). Dalam dunia yang penuh disinformasi dan hoaks, wartawan hadir sebagai penjernih kabut, bukan penebar api.

Namun realitasnya, memang ada oknum yang menyalahgunakan identitas wartawan untuk kepentingan pribadi. Inilah yang disinggung oleh Ketua PWI Aceh Tengah.

Oknum semacam ini tidak hanya merugikan individu atau instansi tertentu, tetapi juga mencoreng nama baik profesi secara keseluruhan.

Disinilah pentingnya kesadaran kolektif. PWI sebagai organisasi profesi harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan kode etik dan memberikan sanksi bagi pelanggar.

Masyarakat pun berhak bersikap kritis, tidak langsung percaya pada siapa pun yang mengaku wartawan tanpa kredibilitas yang jelas. Media yang profesional, terverifikasi, dan berbadan hukum adalah rujukan yang harus dijaga eksistensinya.

Profesi Mulia yang Tak Boleh Dicederai

Wartawan adalah penjaga ruang publik yang bebas dan sehat. Mereka menjadi jembatan antara suara rakyat dan pengambil kebijakan. Karena itu, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa wartawan adalah “penerus kerja kenabian”—dalam makna perjuangan menyampaikan pesan kebenaran di tengah berbagai risiko dan tekanan.

Namun sebagaimana nabi-nabi terdahulu, wartawan juga bisa difitnah, dikucilkan, bahkan diteror. Maka diperlukan keberanian moral untuk tetap teguh pada prinsip, walau mungkin tak populer.

Media adalah medan dakwah sosial. Dan jurnalis adalah dai peradaban yang membawa lentera informasi yang mencerahkan, bukan menyulut kebencian atau mengaburkan realitas.

Kita tentu tidak ingin profesi ini menjadi ladang permainan bagi mereka yang tidak memahami etika dan tanggung jawab jurnalistik. Maka, sebagaimana kata Ketua PWI Aceh Tengah: “Kalau ada yang hobinya mencari-cari kesalahan untuk meraup keuntungan, sebaiknya pindah profesi saja.” Pernyataan ini lugas, namun sangat bermakna. Profesi wartawan bukan tempat bagi mereka yang memelihara intrik.

Menjaga Harmoni, Membangun Kepercayaan

Seorang wartawan idealnya mampu menjadi “ratu dunia informasi”: hadir dengan keanggunan bahasa, ketajaman analisis, dan kedalaman empati. Ia bisa kritis, namun tetap etis. Ia tajam mengulas, tapi tidak menghakimi. Ia hadir untuk menyatukan, bukan memecah. Menjadi suara rakyat yang menderita, sekaligus nurani bangsa yang terjaga.

Akhirnya, kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga profesi wartawan tetap terhormat. Jangan biarkan segelintir oknum merusak tatanan yang telah dibangun dengan susah payah. Jika ditemukan pelanggaran, jangan ragu untuk melapor. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga marwah bersama.

Karena sesungguhnya, dalam setiap tulisan yang jujur, dalam setiap berita yang akurat, dan dalam setiap sikap yang adil, wartawan sedang berkontribusi membangun masyarakat terbaik—khairu ummah—yang mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.

Wallahu a’lam bish shawab.

*Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (S1) dan Pascasarjana IAIN Takengon (S2); dan Pernah menjadi Wartawan.

BERITA TERKAIT