Oleh Rachmat Jayadikarta, SE
Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam dua tahun terakhir menjadi sinyal kuat bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam mengelola sumber pembiayaan pembangunan.
Bagi Kabupaten Aceh Tengah, tantangan ini justru harus dilihat sebagai peluang untuk bertransformasi dari ketergantungan fiskal menuju kemandirian ekonomi daerah.
Salah satu terobosan yang kini dapat dimanfaatkan adalah program penempatan dana pemerintah pusat ke sektor produktif melalui Bank Syariah Indonesia (BSI).
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menempatkan dana sebesar Rp 10 triliun pada Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk disalurkan ke sektor produktif dan pelaku UMKM di Aceh.
Instrumen ini merupakan bagian dari kebijakan nasional dalam mendorong penyaluran kredit produktif, bukan untuk investasi ke surat berharga, tetapi untuk menggerakkan ekonomi riil masyarakat.
BSI menjadi satu dari lima bank yang mendapatkan kepercayaan langsung dari pemerintah, dengan mandat agar dana tersebut segera disalurkan melalui mekanisme pembiayaan berbasis syariah.
Artinya, Aceh sebagai provinsi yang memiliki sistem ekonomi syariah secara menyeluruh memiliki posisi strategis untuk menjadi model penyaluran pembiayaan produktif berbasis nilai Islam.
Bagi Kabupaten Aceh Tengah, momentum ini harus ditangkap cepat. Dengan berkurangnya transfer dana pusat, pemerintah daerah tidak bisa hanya mengandalkan pendapatan dari TKD dan PAD.
Pembiayaan alternatif seperti dana produktif BSI ini dapat menjadi sumber modal kerja bagi masyarakat serta pengungkit ekonomi sektor-sektor unggulan daerah.
Sektor yang dapat menjadi sasaran utama di Aceh Tengah antara lain:
- UMKM dan Koperasi, sektor paling terdampak oleh perlambatan ekonomi.
- Pertanian dan Perkebunan Kopi, komoditas unggulan yang butuh akses modal untuk hilirisasi, seperti pengolahan, pengemasan, dan ekspor.
- Peternakan dan Perikanan Air Tawar, usaha skala kecil yang membutuhkan modal untuk pakan, teknologi, dan bibit unggul.
- Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor yang berpotensi tinggi di Takengon dan sekitarnya, terutama untuk homestay, kuliner, dan budaya lokal.
- Energi Terbarukan dan Infrastruktur Desa Produktif, seperti irigasi mikro, panel surya, serta infrastruktur pendukung pertanian.
Agar potensi ini benar-benar berdampak, sinergi antar-Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menjadi mutlak. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah perlu membentuk tim koordinasi lintas sektor yang melibatkan:
- Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan sebagai pintu utama pendampingan dan verifikasi pelaku usaha.
- Dinas Pertanian dan Perikanan untuk memastikan pembiayaan diarahkan ke subsektor prioritas dan ramah lingkungan.
- Bappeda dalam merancang sinkronisasi program pembiayaan produktif ke dalam RKPD dan APBK 2026.
- BPKD dan Inspektorat untuk pengawasan tata kelola keuangan serta audit berbasis kinerja.
Kolaborasi ini dapat menghasilkan skema “ekosistem pembiayaan produktif daerah” yang efisien, transparan, dan mampu memberikan dampak nyata pada kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah dapat mengadopsi beberapa skema inovatif seperti:
- Pembiayaan berbasis kinerja (Performance-Based Financing): penyaluran dana hanya dilakukan bila indikator kinerja, seperti produksi, penyerapan tenaga kerja, atau peningkatan nilai ekspor tercapai.
- Skema Mudharabah dan Musyarakah Syariah: sesuai karakter ekonomi Aceh, mengedepankan bagi hasil dan risiko bersama.
- Dana Bergulir (Revolving Fund): dana yang dikembalikan oleh penerima manfaat akan digunakan kembali untuk membiayai pelaku usaha lain.
- Kemitraan Pemerintah–Swasta (Public-Private Partnership/PPP): mendanai proyek produktif seperti pengolahan kopi, pariwisata lokal, dan energi terbarukan.
Inovasi pembiayaan ini akan mendorong sektor swasta lokal terlibat aktif, sehingga pembangunan daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada APBK.
Inovasi pembiayaan harus diiringi dengan mekanisme pengawasan ketat dan transparan.
Pemerintah daerah perlu menerapkan audit kinerja, publikasi laporan realisasi pembiayaan secara triwulanan, serta melibatkan unsur masyarakat dalam pemantauan.
Dengan begitu, setiap rupiah yang disalurkan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.
Kebijakan penempatan dana Rp 10 triliun oleh Menteri Keuangan ke BSI adalah momentum penting bagi daerah seperti Aceh Tengah.
Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan pemerintah daerah menghubungkan program pusat dengan kebutuhan lokal, serta membangun sinergi antar-OPD dan lembaga keuangan.
Dengan langkah cepat, transparan, dan terukur, Aceh Tengah dapat menjadi contoh bagaimana daerah mampu bertahan dan tumbuh di tengah keterbatasan fiskal, melalui inovasi pembiayaan yang inklusif, berbasis syariah, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
| Penulis Adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Daerah












