ADVERTISEMENT

ASN Enggan Dimutasi? Begini Dampaknya ke Kinerja dan Anggaran Daerah!

Oleh: Rachmat Jayadikarta, SE

Rotasi dan mutasi aparatur sipil negara (ASN) sering kali menjadi isu sensitif di lingkungan pemerintahan daerah. Namun, sejatinya kebijakan ini bukanlah bentuk hukuman, melainkan langkah strategis yang dirancang untuk memperkuat efektivitas birokrasi, mempercepat pelaksanaan program pembangunan, dan menjaga disiplin aparatur agar sejalan dengan arah kebijakan daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Aceh Tengah.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, mutasi dan rotasi ASN merupakan bagian dari sistem merit yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, serta PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.

BACA JUGA

Regulasi ini menegaskan bahwa setiap ASN wajib melaksanakan perintah atasan yang sah, termasuk keputusan rotasi dan mutasi yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), dalam hal ini Bupati Aceh Tengah.

Tujuan utama rotasi dan mutasi adalah penyegaran organisasi, pemerataan sumber daya manusia, serta penguatan kinerja instansi daerah.

ASN yang terlalu lama berada di satu posisi berpotensi mengalami kejenuhan atau kehilangan motivasi, sehingga penyegaran menjadi langkah penting untuk menumbuhkan kembali semangat kerja dan tanggung jawab profesional.

Selain itu, kebijakan mutasi memungkinkan penempatan aparatur yang lebih kompeten dan sesuai kebutuhan program pembangunan daerah.

Hal ini penting agar setiap organisasi perangkat daerah (OPD) mampu menjalankan tugasnya secara efektif, terutama dalam melaksanakan program prioritas RPJMD yang menjadi instrumen utama pencapaian visi dan misi Bupati Aceh Tengah.

Masih terdapat ASN yang enggan atau menolak menjalani mutasi dengan berbagai alasan pribadi. Padahal, penolakan terhadap keputusan resmi pimpinan termasuk dalam kategori pelanggaran disiplin berat, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021. Namun yang lebih substansial dari sekadar aspek disiplin, penolakan ASN terhadap rotasi dan mutasi berdampak langsung terhadap kinerja pemerintah daerah.

Pertama, terganggunya pelaksanaan program strategis RPJMD. Setiap program daerah memiliki indikator dan target yang terhubung lintas sektor.

Bila penempatan ASN tidak sesuai dengan kebutuhan struktural, maka pelaksanaan kegiatan menjadi tidak efektif dan capaian target daerah terhambat.

Kedua, menurunnya sinergi antar-OPD. Penolakan terhadap mutasi berpotensi menimbulkan kesenjangan beban kerja dan memperlemah koordinasi lintas perangkat daerah yang sangat dibutuhkan untuk pencapaian kinerja pembangunan.

Ketiga, menurunnya kedisiplinan dan moral kerja aparatur. ASN yang tidak taat pada keputusan pimpinan memberi contoh negatif bagi lingkungan kerjanya, yang akhirnya berpengaruh terhadap budaya kerja birokrasi secara keseluruhan.

Kementerian Keuangan RI berulang kali mengingatkan pemerintah daerah agar mengoptimalkan penyerapan anggaran (APBD) sebagai indikator utama efektivitas program publik.

Serapan anggaran yang rendah sering kali mencerminkan lemahnya manajemen pelaksanaan kegiatan, yang salah satunya bersumber dari penempatan ASN yang tidak tepat atau resistensi terhadap kebijakan mutasi.

Dalam konteks ini, rotasi dan mutasi ASN menjadi instrumen kebijakan keuangan daerah yang sangat strategis. Beberapa implikasinya adalah: percepatan pelaksanaan kegiatan dan proyek daerah, menjaga kesinambungan kinerja OPD, serta meningkatkan kepercayaan publik dan pemerintah pusat.

Daerah dengan serapan anggaran tinggi biasanya memperoleh penilaian baik dari Kementerian Keuangan, termasuk peluang mendapatkan Dana Insentif Fiskal (DIF).

Sebaliknya, resistensi ASN terhadap mutasi dapat menyebabkan kinerja anggaran stagnan dan berimplikasi pada berkurangnya insentif daerah. Dengan demikian, rotasi ASN bukan hanya urusan kepegawaian, melainkan bagian dari strategi penguatan manajemen pembangunan dan keuangan daerah.

Sebagai unsur pelaksana kebijakan publik, ASN wajib memiliki loyalitas terhadap keputusan pimpinan daerah. Loyalitas bukan berarti tunduk secara buta, tetapi bentuk komitmen terhadap tugas dan tanggung jawab profesi untuk melayani masyarakat.

Menolak mutasi berarti menolak bagian dari tanggung jawab pembangunan daerah.

Dalam tatanan pemerintahan modern, ASN dituntut profesional, adaptif, dan fleksibel terhadap perubahan kebijakan. Aceh Tengah membutuhkan birokrasi yang gesit dan disiplin agar visi pembangunan daerah — termasuk percepatan pengentasan kemiskinan, peningkatan daya saing daerah, dan pemerataan ekonomi — dapat tercapai secara nyata.

Rotasi dan mutasi ASN di Kabupaten Aceh Tengah harus dipandang sebagai langkah pembenahan dan penguatan tata kelola pemerintahan daerah. Kebijakan ini bukan untuk melemahkan, melainkan memperkuat sinergi birokrasi agar target RPJMD dapat dicapai tepat waktu dan selaras dengan arahan pemerintah pusat dalam optimalisasi serapan anggaran.

Oleh sebab itu, setiap ASN sepatutnya menunjukkan kedewasaan birokrasi: menerima keputusan mutasi dengan lapang dada, bekerja dengan profesional di tempat baru, dan menjadi bagian dari solusi atas tantangan pembangunan daerah.

Hanya dengan aparatur yang disiplin, adaptif, dan berintegritas, Kabupaten Aceh Tengah akan mampu mewujudkan kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, serta berdaya saing tinggi.

| Penulis Adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Daerah 

BERITA TERKAIT