HARIE.ID | TAKENGON — Sudah tiga minggu penuh, denyut kehidupan di RSUD Datu Beru Takengon tak pernah berhenti.
Setiap hari pemandangan yang sama berulang satu pasien sembuh dan keluar, tak lama kemudian pasien baru datang menggantikan tempat tidurnya.
Di balik hiruk-pikuk ruang rawat itu, Direktur RSUD Datu Beru, dr. Gusnarwin, menatap situasi ini dengan ketenangan khas seorang dokter yang sudah kenyang pengalaman.
Ia tahu, inilah bagian dari pengabdian melayani tanpa jeda, di tengah keterbatasan yang terus dihadapi.
“Sudah tiga minggu penuh ruang rawat tidak pernah kosong. Pagi ini ada pasien yang keluar, nanti sore sudah ada yang masuk lagi,” ujar Gusnarwin saat dikonfirmasi Harie.id, Kamis 30 Oktober 2025.
Menurutnya, tak ada penyakit khusus yang melonjak seperti yang diberitakan beberapa waktu lalu terkait penyakit Influenza A.

Mayoritas pasien datang dengan keluhan demam, batuk, dan gangguan pernapasan ringan dipicu akibat peralihan cuaca panas dan hujan beberapa pekan terakhir.
Namun, frekuensi pasien yang datang silih berganti membuat rumah sakit ini seolah tak pernah beristirahat.
“Kadang memang renggang sebentar, tapi sebentar saja. Begitu ada kosong, langsung terisi lagi. Dua hari dirawat, ganti pasien baru,” tuturnya.
Kondisi ini bahkan membuat ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) kerap penuh sesak. Di beberapa momen, pasien terpaksa diinfus di dalam mobil karena ruang IGD tak lagi mampu menampung.
Pemandangan ini menggambarkan betapa besarnya beban pelayanan di rumah sakit rujukan utama wilayah tengah Aceh tersebut.
“Bukan karena kita tidak mau menampung, tapi ruangnya memang terbatas. Petugas di IGD bekerja maksimal, semua berusaha agar pasien tetap tertangani, meski harus menunggu di kendaraan,” jelas Gusnarwin.
Dengan total 311 tempat tidur, ditambah 36 tempat tidur tambahan di ruang intermediate, RSUD Datu Beru sejatinya sudah bekerja melampaui kapasitas idealnya. Namun, itu pun belum cukup.
“Tambahan tempat tidur belum menjadi solusi permanen,” aku Gusnarwin jujur.
“Karena rumah sakit ini bukan hanya melayani masyarakat Aceh Tengah, tapi juga menerima rujukan dari Bener Meriah dan Gayo Lues. Kalau dari Gayo Lues memang tidak setiap hari, tapi tetap berdampak pada tingkat keterisian,” timpalnya.
Melihat kondisi ini, solusi yang paling realistis bukan hanya menambah ruang, tapi memperkuat sistem kesehatan regional agar lebih terdistribusi.
Pemkab Aceh Tengah telah melakukan serah terima Rumah Sakit Regional yang ada di Pegasing. Percepatan renovasi dan mengisi ketersediaan alat kesehatan adalah solusi.
Aceh Tengah perlu solusi jangka panjang. Begitu juga dengan keberadaan Gayo Medical Center di Paya Tumpi akan menjadi terobosan terbaik jika BPJS Kesehatan cepat memproses klaim.
Rumah sakit regional diharapkan menjadi pusat rujukan besar di wilayah tengah Aceh, sehingga beban RSUD Datu Beru dapat berkurang.
Sementara Gayo Medical Center (GMC) yang kini dalam tahap pengembangan ke BPJS Kesehatan diharapkan menjadi pelengkap.
Di tengah arus pasien yang datang silih berganti, RSUD Datu Beru tetap menjadi jantung pelayanan kesehatan masyarakat Aceh Tengah, tempat setiap napas kesembuhan dijaga dengan dedikasi, dan setiap tantangan dijawab dengan harapan.
“Yang penting pasien tertangani dengan baik. Kita terus berupaya agar pelayanan tetap manusiawi, meskipun di tengah kondisi yang padat,” Pungkas dr. Gusnarwin menutup pembicaraannya.
Laporan | Karmiadi












