HARIE.ID | REDELONG – Melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DPPM) melalui skema Pemberdayaan Berbasis Masyarakat dengan Ruang Lingkup Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat tahun 2025, Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon tanamkan inovasi langsung di tanah petani.
Melalui program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) 2025, tim dosen UGP hadir di Desa Janarata, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, membawa semangat “Optimasi Sistem Jarak Tanam Pelindung Tetap dan Tanam Pelindung sebagai Income Pasif bagi Petani Kopi Arabika dalam Mendukung Pertanian Generatif.”
Program ini menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan petani kopi Gayo.
UGP memperkenalkan konsep agroforestri produktif yang berpadu dengan teknologi bioorganik inovatif, menciptakan sistem pertanian yang tidak hanya hijau secara ekologis, tapi juga menguntungkan secara ekonomi.
Dipimpin oleh Hikmah, S.P., M.Si, bersama Faidha Rahmi, S.TP., M.Si (kandidat doktor Ilmu Pertanian Universitas Syiah Kuala) dan Ona Maulana, S.P., M.Si, kolaborasi lintas disiplin ini meramu kekuatan antara bioteknologi, ekologi pertanian, dan agribisnis lokal.
Misi mereka sederhana tapi berdampak besar: menjadikan petani sebagai subjek inovasi, bukan sekadar penerima bantuan.
Dalam pelaksanaannya, PKM ini menggandeng praktisi nasional dan internasional di bidang pertanian berkelanjutan.
Tovan Marhenata, pakar agroforestri dari Leuser International Foundation, menegaskan pentingnya productive shading system dalam kebun kopi.
“Pohon pelindung bukan sekadar hiasan. Ia adalah jantung dari ekosistem kopi yang sehat,” ujarnya, dirilis Senin 03 November 2025.
Sementara itu, Salman, S.P., M.P., penyuluh pertanian nasional berprestasi dari Dinas Pertanian Aceh Tengah, berbagi strategi pendampingan partisipatif berbasis lapangan.
Melalui metode school field approach, petani didorong menjadi pembelajar aktif menguji, mengamati, dan menemukan solusi bersama.
Turut hadir Wigno, praktisi hortikultura senior yang dikenal berkat jasanya melestarikan Jeruk Keprok Takengon.
Ia menegaskan pentingnya menghidupkan kembali varietas lokal sebagai bentuk diversifikasi ekonomi petani, tanpa mengorbankan kelestarian alam.
Keberhasilan jeruk keprok menjadi simbol bahwa pengetahuan lokal yang dipadu riset ilmiah dapat menciptakan nilai ekonomi baru.
Selain memperkuat sistem agroforestri, UGP memperkenalkan serangkaian teknologi bioorganik terapan berbasis prinsip LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).
Petani dilatih untuk mandiri secara teknologi, memanfaatkan potensi lokal dengan hasil maksimal.
Beberapa inovasi unggulan yang diperkenalkan adalah EM4 Lokal dari fermentasi buah busuk, sayuran, dan gula merah mempercepat dekomposisi organik serta menghidupkan mikroba tanah.
Biocard dari Kulit Ari Kopi, limbah yang diubah menjadi bio-enhancer penyimpan nutrisi alami.
Ekoenzim Vegetatif, Generatif, dan Umum, cairan hasil fermentasi yang multifungsi menyuburkan, menyehatkan, sekaligus menekan biaya produksi.
Teknologi ini tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga ramah kantong petani.
UGP memperkenalkan model agroforestri generatif, sistem tanam yang menempatkan pohon pelindung seperti alpukat, jeruk keprok, dan kayu manis sebagai sumber pendapatan tambahan.
Dengan pengaturan jarak tanam 6×6 hingga 9×9 meter, petani dapat mengontrol intensitas cahaya dan keseimbangan nutrisi tanah secara optimal.
Pendapatan petani meningkat 20–30 persen per tahun tanpa menurunkan hasil panen kopi.
Inilah bukti bahwa alam dan ekonomi bisa tumbuh bersama, ketika sains berpihak pada kemandirian petani.

Ketua tim, Hikmah, S.P., M.Si, menegaskan, kegiatan ini adalah bentuk transfer ilmu dari ruang kuliah ke kebun kopi.
“Riset harus hidup di lapangan. Kami ingin teknologi bioorganik dan agroforestri adaptif benar-benar menjadi fondasi kebun kopi berkelanjutan,” ujarnya.
Sementara Faidha Rahmi menambahkan, sistem ini membuka peluang pengembangan kopi Gayo berlabel hijau (green-labeled coffee), yang kini menjadi tren pasar global.
Sertifikasi sustainable coffee bukan lagi sekadar label, tapi nilai tambah yang meneguhkan identitas kopi Gayo di panggung dunia.
Program PKM UGP di Janarata menjadi model ideal sinergi antara riset, inovasi, dan pemberdayaan sosial-ekonomi.
UGP menempatkan diri bukan hanya sebagai lembaga akademik, tetapi aktor transformasi pertanian generatif di Tanoh Gayo, yang berpijak pada tiga nilai produktif, lestari, dan mandiri.
Dengan mengintegrasikan ekonomi hijau, agroforestri adaptif, dan bioteknologi lokal, Janarata kini menjadi contoh nyata bahwa pertanian berkelanjutan bukan mimpi, tapi arah masa depan.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh Rektor UGP, Dr. Adnan, S.E., M.Si, yang juga anggota Dewan Ekonomi Aceh.
Kehadirannya menegaskan pentingnya peran kampus dalam memperkuat ekonomi daerah berbasis potensi lokal, khususnya kopi Arabika Gayo sebagai ikon kebanggaan Aceh.
Sementara Camat Bandar, Muslim, S.E., alumnus UGP, mengapresiasi langkah kampus mendorong penerapan sistem agroforestri bernilai ekonomi tinggi.
“Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adalah kunci memperkuat ekonomi desa sekaligus menjaga lingkungan,” ujarnya.
| REL












