HARIE.ID | JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut kekhususan Aceh dalam pengelolaan zakat melalui Baitul Mal tidak bertentangan dengan kerangka konstitusi.
Bahkan, usulan untuk menambahkan frasa “kecuali Provinsi Aceh” dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dinilai justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penegasan ini disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 140/PUU-XXIII/2025, di Gedung MK, Kamis 13 November 2025.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Arslan Abd Wahab, Pensiunan PNS yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Keuangan Kabupaten Aceh Tengah periode 2022–2024.
Dalam pertimbangannya, Arief menjelaskan, Pasal 44 merupakan bagian dari ketentuan penutup UU 23/2011.
Karena itu, permohonan untuk menambahkan frasa pengecualian khusus untuk Aceh tidak tepat secara sistematik maupun substansial.
“Apabila petitum Pemohon dikabulkan, selain merusak struktur norma, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengelolaan zakat di Aceh,” ujar Arief dilansir dari putusan MK.
Ia menambahkan, Penjelasan Pasal 15 UU 23/2011 sudah mengatur istilah Baitul Mal sebagai lembaga pengelola zakat di Aceh yang menggantikan fungsi BAZNAS provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan demikian, kedudukan Aceh sudah memiliki ruang kekhususan yang diakui secara hukum.
Mahkamah juga menilai, permintaan pemohon tidak memiliki dasar yuridis yang kuat.
Menurut MK, persoalan yang dialami Pemohon bukan disebabkan keberlakuan Pasal 44, melainkan terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan zakat yang menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Aceh (UU 11/2006).
Arief menegaskan, UU 23/2011 telah memberikan batasan dan larangan tegas mengenai pengelolaan zakat, infak, sedekah, maupun dana sosial keagamaan lain. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berujung pada sanksi pidana.
Mahkamah mencermati adanya dinamika pengelolaan zakat di Aceh termasuk permasalahan yang dialami Pemohon.
Arief berujar, UU 11/2006 dan UU 23/2011 telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029 sehingga diperlukan harmonisasi antara pengaturan zakat dalam kekhususan Aceh dengan hukum nasional.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
“Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Sebelumnya, pemohon beralasan keberlakuan Pasal 44 UU 23/2011 menyebabkan dirinya terseret kasus hukum terkait pengelolaan zakat sebagai PAD saat menjabat Kepala Badan Keuangan Aceh Tengah.
Ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Takengon, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Aceh dan Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Pemohon, Zulkifli, menyebut adanya ketidakpastian tafsir pasal tersebut berpotensi membuat seluruh pejabat pengelola keuangan di Aceh terancam menjadi tersangka atau terdakwa.
Karena itu, Pemohon meminta MK menafsirkan Pasal 44 dengan pengecualian khusus bagi Aceh.
Namun, Majelis Hakim menegaskan, argumentasi tersebut tidak cukup alasan untuk menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Ketentuan pengelolaan zakat tetap tunduk pada UU 23/2011, sementara Aceh menjalankannya melalui lembaga Baitul Mal sesuai kekhususan yang diatur dalam UU 11/2006.
Laporan | Karmiadi












