Kule di Tanoh Gayo, Harmoni Alam, Adat dan Konservasi 

30
SHARES
169
VIEWS

HARIE.ID, TAKENGON | Yayasan Leuser Internasional (YLI) mengadakan diskusi publik bertajuk, Harimau Sumatera dalam perspektif Adat dan Budaya Gayo, Kamis 05 Desember 2024 di Lut Tawar Coffee, Takengon, Aceh Tengah.

Acara ini menghadirkan tokoh adat dan budaya Gayo, aktivis lingkungan, pemangku kebijakan pemerintah, akademisi, serta mahasiswa dari BEM Universitas Gajah Putih dan DEMA IAIN Takengon.

Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian harimau Sumatera, yang dikenal dengan sebutan Kule dalam bahasa Gayo.

BACA JUGA

Selain itu, acara ini menggali adat, budaya, tradisi, serta kearifan lokal masyarakat Gayo terkait harimau, sekaligus merumuskan solusi untuk konservasi dan penanganan konflik manusia-harimau.

Dalam sambutannya, Ketua Pengurus YLI Said Fauzan Baabud, yang akrab disapa Waled, menyampaikan, pelestarian harimau tidak dapat dipisahkan dari peran masyarakat adat.

“Nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang dianut masyarakat Gayo menjadi kunci keberhasilan upaya konservasi ini,” ujar Waled.

Ia juga menyebutkan, sebelum diskusi ini, pihak YLI telah mengadakan wawancara dan diskusi dengan tokoh adat dan praktisi lingkungan di Gayo.

Kamal Khairi dan Suhaili Beke dari YLI memaparkan, adat Gayo memiliki sistem nilai yang mendukung pelestarian lingkungan dan satwa langka seperti harimau.

Dalam budaya Gayo, harimau dianggap sebagai penjaga ekosistem yang keberadaannya dihormati. Salah satu kearifan lokal yang diterapkan adalah peran Sarak Opat (empat pemangku adat), termasuk Penghulu Uten yang bertugas mengelola hutan secara bijak dan menjaga keseimbangan lingkungan.

“Adat melarang pembalakan liar, khususnya di kawasan hutan dengan lereng curam, karena berpotensi merusak koridor satwa dan sumber air. Selain itu, ada aturan ketat mengenai etika berburu (mungaro) dan tata cara memasuki hutan,” jelas Suhaili.

Suhaili menambahkan, konflik manusia-harimau diatur dalam hukum adat Gayo. Jika harimau mendekati pemukiman, masyarakat biasanya menggunakan pendekatan adat seperti i manati (menasihati) dan i bio (mengusir secara halus).

Apabila konflik berlanjut, masyarakat menggelar doa tolak bala atau memasang perangkap tanpa membunuh harimau, kecuali jika satwa tersebut membahayakan nyawa manusia atau hewan ternak.

Tokoh masyarakat, Irwandi, alias Pak Oteh, menjelaskan, dalam kepercayaan adat, harimau hanya akan memangsa satu ekor ternak di lokasi tertentu, yang dianggap sebagai “hak rezekinya.”

Ini mencerminkan penghormatan masyarakat Gayo terhadap harimau sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan penjaga situs keramat di hutan.

Dr. Elma Naura dari Majelis Adat Gayo menegaskan pentingnya mengaktifkan kembali lembaga adat seperti Penghulu Uten dan Sarak Opat.

Ia juga mendorong adanya regulasi, seperti qanun atau peraturan daerah, untuk mendukung upaya konservasi.

“Kami berharap generasi mendatang masih bisa melihat dan merasakan keberadaan harimau di tanah Gayo. Langkah ini sangat penting untuk menjaga ekosistem,” ujar Dr. Elma.

Di akhir diskusi, peserta sepakat mendesak YLI untuk mendokumentasikan seluruh hasil studi adat dan budaya Gayo terkait harimau, sehingga dapat digunakan untuk edukasi dan perlindungan harimau Sumatera, khususnya di dataran tinggi Gayo.

Kegiatan ini menjadi langkah awal untuk menyatukan adat, budaya, dan sains dalam upaya pelestarian harimau Sumatera di Aceh.

Ahmad Amin

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI