Workshop Alam dan Budaya, Ketua Rumah Budaya Gayo Dorong Mitigasi Konflik Gajah – Manusia

HARIE.ID | TAKENGON  –  Ketua Rumah Budaya Gayo (RBG), Bobby Wan Prinu Tarigan, SE, menyampaikan pandangan terkait upaya mitigasi konflik gajah dan manusia dalam Workshop Alam dan Budaya bertema “Mengenal Kebudayaan, Menyelamatkan Gajah” yang digelar di Takengon, Kamis 21 Agustus 2025.

Dalam forum tersebut, Bobby menekankan, isu gajah tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang satwa semata, tetapi juga harus memperhatikan manusia yang hidup berdampingan dengan habitatnya.

Menurutnya, penyelesaian konflik harus dilihat secara menyeluruh agar keberlangsungan hidup keduanya dapat terjaga.

BACA JUGA

“Jangan hanya berbicara konflik bersama gajah, tapi juga bagaimana kita mengatasi konflik dengan manusianya,” katanya.

Bobby memaparkan sejumlah strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi konflik.

Salah satunya adalah pengelolaan habitat gajah dengan memastikan adanya koridor satwa yang menghubungkan satu kawasan hutan dengan kawasan lain, sehingga gajah tidak harus melewati lahan masyarakat.

Upaya restorasi hutan yang rusak juga penting dilakukan agar gajah memiliki sumber makanan alami.

Selain itu, kawasan konservasi dan taman nasional perlu diperluas serta dijaga agar kebutuhan ruang hidup gajah tetap terpenuhi.

Di tingkat masyarakat, langkah pencegahan dapat dilakukan melalui penggunaan pagar alami dari tanaman berduri seperti bambu atau kaktus, maupun dengan pagar listrik bertegangan rendah yang tidak membahayakan gajah tetapi cukup memberi efek jera.

Warga juga dapat menanam tanaman penghalau seperti cabai atau jahe di sekitar ladang.

Sementara itu, sistem peringatan dini dengan menggunakan lonceng, meriam karbit, hingga sensor elektronik dinilai dapat membantu masyarakat mengetahui lebih cepat apabila ada kawanan gajah yang mendekat.

Pendekatan sosial dan edukasi juga dianggap penting. Masyarakat perlu mendapatkan pelatihan tentang cara menghalau gajah tanpa melukai, serta adanya program kompensasi bagi petani yang lahannya rusak akibat pergerakan gajah.

Edukasi konservasi harus diperkuat agar masyarakat memahami peran gajah dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Seiring perkembangan teknologi katanya, pemanfaatan peralatan modern seperti drone dan GPS collar dapat menjadi solusi untuk memantau pergerakan gajah secara real-time.

Sistem peringatan berbasis SMS atau radio juga bisa digunakan agar warga mendapat informasi cepat jika gajah terdeteksi mendekati pemukiman.

Bobby turut menekankan pentingnya kebijakan yang tegas dari pemerintah serta kolaborasi semua pihak, baik lembaga swadaya masyarakat, peneliti, maupun komunitas lokal.

Menurutnya, tanpa dukungan regulasi dan kerja sama multipihak, upaya menjaga kelestarian gajah dan keberlangsungan hidup manusia di sekitar habitatnya tidak akan berjalan maksimal.

Ia mengingatkan, menjaga gajah berarti juga menjaga masa depan manusia. Ketika hutan rusak dan satwa kehilangan habitatnya, masyarakat pun akan terdampak langsung.

Karena itu, ia berharap diskusi seperti workshop ini dapat menjadi awal bagi langkah nyata dalam membangun keselarasan antara manusia, budaya, dan alam di Tanoh Gayo.

Laporan | Karmiadi 

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI