HARIE.ID | TAKENGON – Polemik pungutan biaya penerbitan Surat Keterangan (Suket) Uji Mampu Baca Al-Qur’an bagi calon reje (kepala desa-red) ditanggapi Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kabupaten Aceh Tengah, Wahdi.
Dalam keterangannya kepada Harie.id, Wahdi menegaskan, secara regulasi, tugas Kantor Urusan Agama (KUA) memang disebutkan dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Kampung, khususnya pada Pasal 13 huruf C yang menyebutkan syarat bagi calon reje yang beragama Islam adalah mampu membaca Al-Qur’an.
Namun, lanjutnya, di Pasal 15 poin C disebutkan, surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
“Itu memang tertulis dalam Qanun Aceh. Tapi kemudian, harus dipahami bahwa KUA itu lembaga vertikal yang berada di bawah struktur Kementerian Agama. Secara hierarki, KUA berada di bawah Kankemenag Kabupaten, dan Kankemenag berada di bawah Kanwil, Kanwil ke Menteri Agama,” ujar Wahdi lewat sambungan WhatsApp, Rabu 08 Oktober 2025.
“Kami beranggapan Qanun itu ambigu. Kenapa KUA yang diperintahkan mengeluarkan surat tersebut, padahal KUA bukan lembaga daerah, Kenapa tidak melalui dinas Syariat Islam (DSI) yang merupakan perangkat daerah? Ini yang perlu diluruskan,” timpal Wahdi.
Lebih lanjut ia berujar, dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 4 Tahun 2011, bahkan tidak lagi disebutkan secara eksplisit soal kewenangan KUA untuk mengeluarkan surat rekomendasi uji mampu baca Al-Qur’an bagi calon reje.
“Di Pasal 19 hanya disebutkan syarat ‘mampu membaca Al-Qur’an bagi yang beragama Islam’. Tidak ada disebutkan lembaga penerbitnya,” terangnya.
Wahdi menegaskan, persoalan mendasar ada pada ketiadaan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak-juknis) terkait penyelenggaraan uji mampu baca Al-Qur’an itu.
“Tidak ada diatur indikatornya, apakah cukup membaca Alif Lam Mim, atau harus tilawah dengan tajwid dan lagu. Tidak ada standar baku. Maka kami sebut, ini regulasi yang kabur dan rawan multitafsir,” ujarnya.
Kondisi ini, tambahnya, membuat posisi KUA menjadi serba salah.
“Ketika mereka diminta menguji calon reje, mereka tidak punya dasar teknis, tidak ada anggaran, bahkan tidak ada perlindungan hukum dan keselamatan. Misalnya petugas KUA ke daerah jauh seperti Celala atau Jagong, kalau terjadi sesuatu di jalan, tidak ada jaminan negara,” jelas Wahdi.
Lebih jauh, Wahdi mengungkap, Kankemenag tidak dilibatkan dalam hal koordinasi terkait kegiatan uji mampu baca Al-Qur’an ini.
“Kami tidak pernah dilibatkan, padahal kami atasan langsung mereka. Fungsi koordinasi kami terputus di tengah jalan,” ujarnya.
Ia menambahkan, Kankemenag Aceh Tengah belum pernah dikonfirmasi oleh DPRK terkait keluhan yang sesumbar menduga pungutan itu bahagian dari pungutan liar.
“Teman-teman di KUA sudah menghentikan sementara kegiatan itu sampai ada kejelasan aturan, juklak, juknis, dan Qanun yang tegas,” kata Wahdi.
Sebagai solusi, Wahdi menyarankan agar Pemerintah Kabupaten dan DPRK Aceh Tengah segera memfasilitasi pertemuan bersama dengan Kemenag untuk membahas kejelasan regulasi ini.
“Kami siap duduk bersama agar semuanya terang benderang. Ini penting untuk menjaga transparansi, melindungi KUA, dan memastikan pelaksanaan Qanun tidak menyalahi struktur hukum,” katanya.
Ia juga mengusulkan agar penilaian uji baca Al-Qur’an diserahkan kepada Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
“Kalau ingin independen dan profesional, LPTQ lebih tepat. Mereka punya kapasitas menilai, sementara KUA bisa fokus pada pelayanan keagamaan sesuai tupoksi,” pungkas Wahdi MS.
Laporan | Karmiadi