HARIE.ID | TAKENGON – Putra daerah asal Dapil III yang kini duduk di DPRK Aceh Tengah, Fauzan, sesalkan temuan mencengangkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terkait pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sejumlah sekolah di Kabupaten tersebut
Ia menyesalkan semrawutnya tata kelola dana pendidikan tersebut yang dinilai jauh dari asas transparansi dan akuntabilitas.
“Dana BOS adalah urat nadi operasional pendidikan dasar. Bila dikelola dengan semena-mena, dampaknya bukan hanya kerugian negara, tapi juga menghambat hak belajar anak-anak kita. Ini harus segera dibenahi!,” tegas Fauzan saat dikonfirmasi Harie.id, Rabu 06 Agustus 2025.
Pernyataan ini disampaikan menyusul Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2024.
Laporan itu memuat sejumlah temuan mengejutkan, salah satunya di SMP Negeri 32 Takengon. Lokasi sekolah ini bertepatan dengan Daerah Pemilihan (Dapil) Fauzan menuju DPRK.
Di sekolah ini, BPK mencatat belanja BOS sebesar Rp127 juta tidak sesuai fakta di lapangan. Mulai dari honorarium bendahara dan guru yang tak sesuai, servis komputer fiktif, selisih harga pembelian laptop, hingga belanja barang dan jasa sebesar Rp92 juta yang tidak didukung bukti sah.
Lebih parah lagi, terdapat dugaan bahwa dana BOS disalurkan tanpa rekomendasi Manajer BOS dan tanpa SPJ yang tepat waktu.
SPJ Dana BOS Reguler Tahun 2024 baru diserahkan setelah tenggat waktu terlampaui, bahkan setelah pencairan tahap berikutnya sudah dilakukan.
Sementara itu, di sekolah lain seperti SDN 4 Celala, SDN 1 Lut Tawar, dan SDN 8 Lut Tawar, dana BOS senilai total Rp85 juta ditemukan berada di rekening pribadi kepala sekolah. Padahal, sesuai SK Bupati Aceh Tengah Nomor 900/05/BPKK/2024, kepala sekolah tidak memiliki wewenang menyimpan dana BOS secara langsung.
Menanggapi itu, Fauzan menegaskan pentingnya membangun sistem pengawasan yang lebih partisipatif dan berbasis komunitas.
Ia mengusulkan agar setiap pencairan dan pengeluaran dana BOS wajib disertai tanda tangan atau pengesahan dari pengawas sekolah, perwakilan Dinas Pendidikan, komite sekolah, serta aparatur desa setempat.
“Penarikan dana harus diketahui semua pihak terkait. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi demi menjaga integritas dana pendidikan. Sekolah adalah milik bersama, dan pengawasannya juga harus kolektif,” tegasnya.
Ia juga mendorong Dinas Pendidikan dan Inspektorat agar tidak berhenti di temuan, tetapi melanjutkan dengan verifikasi, sanksi administratif, hingga pemulihan kerugian negara.
Menurutnya, reformasi pengelolaan BOS mendesak dilakukan agar kasus serupa tidak terulang di tahun-tahun mendatang.
“Jangan sampai setiap tahun ada LHP seperti ini, tapi tidak ada perubahan. Ini soal komitmen moral terhadap pendidikan generasi muda kita,” ujar Fauzan.
Di sisi lain, pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah sudah menyatakan kesediaannya untuk menindaklanjuti temuan BPK. Bahkan, Kepala SMPN 32 Takengon telah mengembalikan sebagian dana sebesar Rp35 juta. Sisanya masih dalam proses verifikasi Inspektorat.
BPK dalam laporannya juga meminta Disdikbud agar lebih optimal dalam pengendalian internal dan evaluasi pelaksanaan BOS, serta memastikan setiap kepala sekolah dan bendahara BOS menjalankan tanggung jawabnya sesuai aturan.
“Pengawasan adalah hal yang utama, supaya pengelolaan BOS lebih bersih dan berpihak pada peserta didik,” pungkas Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
| KARMIADI