HARIE.ID, TAKENGON | Saat kabut menyelimuti lekuk perbukitan Gayo dan aroma kopi segar menyeruak dari balik dedaunan basah, sebuah kisah sedang diracik, bukan di kedai, bukan pula dalam cangkir, melainkan di balik kamera.
Di balik layar itu berdiri sosok Jeremias Nyangoen, sutradara yang tengah menyusun mozaik kehidupan dalam film terbarunya yang penuh filosofi, Black Coffe.
Nama Jeremias mungkin langsung mengingatkan kita pada peran legendarisnya sebagai Sumanto dalam film kontroversial Kanibal Sumanto (2004).
Namun, dua dekade berselang, lelaki kelahiran 29 Juni 1969 itu menunjukkan wajah lain dari kreativitasnya, bukan lagi sebagai aktor di depan kamera, tetapi dalang di balik layar, yang dengan kesabaran menyulam realita dan rasa menjadi sebuah sinema.
Setelah berhasil mencuri perhatian publik dan kritikus lewat debut penyutradaraannya dalam Perempuan Berkelamin Darah, film yang menghantarkannya meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2023, Jeremias kembali duduk di kursi sutradara, membawa misi baru menghadirkan Gayo ke panggung dunia lewat film Black Coffe.
Black Coffe bukan sekadar kisah tentang kopi. Ia adalah cerita tentang keberanian mencintai dalam keterbatasan, tentang melihat tanpa mata, dan tentang kehidupan yang tetap tumbuh di tengah gelap.
“Film ini bercerita tentang sepasang suami istri tuna netra yang hidup dari kebun kopi. Meski tak dapat melihat, sang suami mampu memetik kopi dengan presisi. Bukan karena keajaiban, tapi karena cinta, pengalaman, dan kedalaman rasa,” jelas Jeremias saat diwawancarai awak media di hotel tempat nya menginap beberapa waktu lalu usai syukuran proses produksi film dimulai.
Cerita yang sederhana itu kemudian menjelma menjadi refleksi mendalam tentang manusia.
Tentang bagaimana kita bisa kehilangan satu indera, tapi tidak kehilangan arah. Tentang bagaimana cinta, kerja keras, dan alam bisa saling melengkapi dalam sunyi. Di balik kisah itu, ada filosofi kehidupan yang pekat, seperti secangkir kopi hitam tanpa gula.
Jeremias tak memilih lokasi syuting secara sembarangan. Lebih dari 40 titik lokasi tersebar di Aceh Tengah dan Bener Meriah dipilih dengan penuh pertimbangan.
Mulai dari rumah-rumah tua dengan arsitektur Gayo, hingga lintasan jalan kebun yang menyempit di lereng-lereng curam, semuanya diambil bukan sekadar karena estetika, tapi karena makna.
“Dua belas tahun lalu saya pernah melakukan riset di Takengon dan Bener Meriah. Saat cerita ini saya garap, ingatan itu kembali. Saya tahu tempat ini memiliki roh yang sesuai bukan hanya visual, tapi batiniah. Gayo punya energi yang sulit dijelaskan, dan saya ingin menaruhnya ke dalam film ini,” ujar Jeremias.
Setiap lokasi menurutnya, bukan sekadar latar, tapi karakter tersendiri dalam film. Bukit, kabut, pohon kopi, dan gemericik air di celah lembah Gayo menjadi bagian dari narasi yang tak bisa diabaikan. Mereka bukan figuran. Mereka ikut berbicara.
Film ini diperkuat jajaran aktor papan atas seperti Reza Rahadian, Ine Febrianti, Asmara Abigail, dan Kabriwali.
Namun, yang paling istimewa justru bukan nama-nama besar itu, melainkan bagaimana mereka menyatu dengan atmosfer lokal. Tanpa kemewahan, tanpa ego, mereka hadir sebagai bagian dari semesta Gayo.
“Saya ingin penonton merasa bahwa ini bukan film. Tapi kehidupan. Kehidupan yang bisa mereka temui di pasar, di kebun, atau di beranda rumah kopi,” tutur Jeremias.
Black Coffe saat ini masih dalam proses produksi. Belum memasuki proses Editing, penyusunan musik, pencampuran suara, hingga pewarnaan gambar.
Target rilisnya dijadwalkan tahun depan. Namun, sebelum menghampiri layar bioskop nasional, film ini direncanakan untuk lebih dulu menjelajah panggung festival internasional.
“Saya belum bisa pastikan apakah akan tayang di bioskop dulu atau festival dulu. Tapi rasanya, Black Coffe akan lebih dulu kami summit ke sejumlah festival di Eropa. Itu ranah publisher, tapi saya kira film ini layak mendapat panggung global,” ungkapnya.
Meski belum bisa menyebutkan nama festival, Jeremias optimis bahwa Black Coffe punya napas panjang.
Film ini tidak hanya tentang Indonesia, tetapi tentang kemanusiaan universal, tentang mencintai, kehilangan, bertahan, dan menyeduh harapan dari kesederhanaan.
Lewat Black Coffe, Jeremias Nyangoen tidak hanya mempersembahkan film. Ia mempersembahkan penghormatan. Untuk tanah Gayo.
Untuk para petani kopi. Untuk mereka yang hidup dengan keterbatasan, tapi terus berjalan tanpa kehilangan arah.
Dari secangkir kopi hitam itu, Jeremias menyuguhkan lebih dari rasa, ia menyuguhkan kesadaran. Bahwa dalam keterbatasan ada kekuatan. Bahwa dalam gelap, ada arah. Dan dari tempat yang paling sunyi di negeri ini, bisa lahir suara paling nyaring untuk dunia.
| KARMIADI