HARIE.ID, TAKENGON | Di balik tenangnya malam lintas Medan–Takengon, tersimpan kisah yang mengguncang hati dan nurani.
Seorang mahasiswi yang kita sebut saja Bunga, baru saja pulang dari perantauan demi mengisi waktu liburan kuliahnya. Namun, perjalanan yang seharusnya memberi ketenangan justru berubah menjadi pengalaman traumatis yang membekas.
Bunga berangkat malam itu sendirian dari Medan menggunakan mobil travel jenis Hi Ace yang sudah dipesan oleh keluarganya.
Awalnya, ia duduk di kursi nomor 7, namun sang sopir tiba-tiba memintanya pindah ke kursi nomor 10 tanpa alasan jelas. Karena hari sudah larut dan situasi terbatas, Bunga tak punya pilihan selain menurut.
Dalam perjalanan, rasa lelah setelah penerbangan membuatnya terlelap. Tapi di tengah tidur yang tak pulas itu, ia terbangun karena merasakan sesuatu yang mengusik tubuhnya, pipinya dielus, tangannya disentuh.
Ketika membuka mata, alangkah kagetnya Bunga mendapati sosok yang duduk di sebelahnya adalah sopir utama Hi Ace. Sedangkan kendaraan dikendalikan oleh sopir cadangan.
Sang sopir hanya berkata, “Tidur saja lagi, aman kok Dek.”
Namun Bunga tak bisa lagi memejamkan mata. Dengan penuh rasa takut, ia menyalakan senter dari HP-nya dan menatap jalan hingga fajar menyingsing di Takengon.
Untungnya, ia berhasil tiba di rumah tanpa insiden lebih lanjut, tetapi luka psikologisnya jelas tak mudah hilang.
Kisah Bunga ini hanyalah satu dari sekian banyak suara yang selama ini bungkam. Di balik senyapnya malam di dalam kendaraan umum, sering kali terjadi tindak pelecehan seksual yang tak dilaporkan, karena takut, malu, atau merasa tak akan mendapat keadilan.
“Pelecehan ini harus dihentikan. Kita harus lebih peduli pada keselamatan dan kenyamanan perempuan di kendaraan umum,” kata Ni’mah Kurniasari, S.H., tim ahli hukum dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Aceh Tengah lewat keterangan tertulisnya yang diterima Harie.id, Rabu 30 Juli 2025.
Ni’mah menjelaskan, tindakan seperti yang dialami Bunga bukan sekadar gangguan biasa, melainkan sudah masuk dalam ranah pidana.
“Pasal 281 KUHP menegaskan, pelanggaran kesusilaan di muka umum dapat diancam pidana dua tahun empat bulan. Belum lagi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” tambahnya.
Dalam keterangannya, Ni’mah juga menyerukan agar instansi terkait seperti Dinas Perhubungan, Kepolisian, dan penyedia jasa travel ikut terlibat aktif dalam pengawasan sopir dan sistem keamanan perjalanan.
Ia mengusul agar dibuat MOU kolaboratif antara Dishub, UPTD PPA, dan penyedia jasa transportasi untuk melakukan kampanye anti-pelecehan seksual di kendaraan umum, termasuk travel Hi Ace.
“Kita ingin ada mekanisme perlindungan nyata, bukan hanya slogan. Sopir harus diseleksi ketat, diberi pelatihan etika, dan penumpang diberikan ruang aman untuk mengadu,” katanya.
Tak kalah penting, Ni’mah menghimbau agar para korban, terutama perempuan dan mahasiswa, tidak ragu untuk melapor ke pihak berwajib atau langsung ke UPTD P2TP2A.
Tujuannya bukan hanya memberi efek jera pada pelaku, tapi juga menyediakan pendampingan psikologis dan trauma healing bagi korban.
Kasus Bunga menyadarkan kita, banyak kekerasan seksual terjadi dalam diam. Banyak korban memilih bungkam karena stigma, padahal keadilan takkan pernah datang bila kebenaran terus disembunyikan.
Jangan biarkan kursi penumpang menjadi saksi bisu kekerasan. Jangan biarkan perempuan berjuang sendiri dalam gelap. Karena keamanan adalah hak, bukan keberuntungan.
| REL