Musim penghujan di Aceh Tengah kembali menghadirkan “atraksi” tahunan yang tidak pernah mengecewakan.
Genangan air di mana-mana. Sudut-sudut kota yang biasanya menjadi kebanggaan kini berubah menjadi kolam dadakan, memaksa pengendara dan pejalan kaki untuk berakrobat menghindari genangan yang menguasai jalan.
Entah bagaimana ceritanya, sistem drainase yang seharusnya menjadi pahlawan malah memilih rehat di saat paling dibutuhkan.
Air hujan yang mestinya mengalir dengan anggun melalui selokan malah berkumpul di tengah jalan, menyapa pengendara dengan penuh semangat.
Sepertinya drainase di kawasan Kota Takengon butuh liburan panjang.
Seperti di kawasan lampu merah Reje Bukit, Mongal dan Jalan Lintang, semua pengendara hampir menyatakan ungkapan yang sama.
“Banjir mien,” begitu kata pengendara sepeda motor ini, Senin 06 Januari 2025.
Banjir dan sampah tampaknya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sayangnya, kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya masih seperti mitos, sering dibicarakan, tapi sulit ditemukan.
Masalah ini semakin rumit dengan makin padatnya pemukiman yang menekan ruang pembuangan air.
Alih-alih memperluas drainase atau menambah daerah resapan, lahan kosong justru disulap menjadi rumah-rumah baru tanpa perencanaan matang.
Air hujan kini harus antre untuk mengalir. Sayangnya, antriannya lebih panjang dari antrean bahan bakar.
Banjir di Aceh Tengah seolah menjadi “festival tak diundang” yang selalu datang tanpa aba-aba. Warga terpaksa ikut “merayakan” dengan memindahkan motor yang mogok, melindungi rumah dari air masuk, atau sekadar memutar jalur karena jalan tergenang.
Ironisnya, masalah ini terus berulang seolah menjadi warisan turun-temurun yang tidak pernah diselesaikan.
Mengatasi banjir seharusnya bukan mimpi yang terlalu tinggi untuk dataran tinggi seperti Aceh Tengah.
Pembersihan saluran air, penerapan sanksi tegas bagi pembuang sampah sembarangan, dan pengawasan ketat terhadap pembangunan pemukiman bisa menjadi langkah awal.
Namun, tanpa keseriusan dan sinergi, genangan air ini akan terus menjadi tamu abadi yang mengingatkan kita pada kegagalan tata kelola lingkungan.
Akhirnya, banjir di Aceh Tengah bukan sekadar masalah air yang meluber, tetapi cermin buram dari perilaku manusia yang abai terhadap lingkungan dan belum ditemukan nya solusi.
Sampai kapan dataran tinggi ini akan tetap tenggelam dalam masalah yang sebenarnya sederhana?
Mungkin jawabannya ada di musim hujan berikutnya, bersama genangan yang sama!
| Redaksi