HARIE.ID, TAKENGON | Program redistribusi tanah (Redis) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2024 yang sempat menjadi harapan besar bagi masyarakat Kampung Simpang Tiga Uning, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, kini terganjal masalah.
Dari total 130 bidang tanah yang diajukan masyarakat untuk sertifikasi, belum satu pun yang berhasil diproses hingga selesai akibat sanggahan dari pihak PT Tusam Hutan Lestari (THL).
Reje Kampung Simpang Tiga Uning, Anwarsyah, menyampaikan, BPN telah turun ke lapangan untuk mengukur tanah masyarakat yang meliputi kebun dan sawah.
Namun, pekerjaan tersebut terhenti saat PT THL menyampaikan keberatan terkait pengukuran tanah di wilayah tersebut.
“BPN sudah turun dan melakukan pengukuran tanah masyarakat. Ada sekitar 130 bidang yang diajukan. Sayangnya, pekerjaan ini mentok karena PT THL mengajukan komplain, sehingga BPN tidak berani melanjutkan program Redis di sini,” ujar Anwarsyah, Senin 06 Januari 2025.
Polemik ini pun berlanjut ke gedung DPRK Aceh Tengah untuk mencari titik terang.
Anwarsyah berharap, melalui Komisi A DPRK bisa menjadi mediator untuk mempertemukan semua pihak terkait, termasuk masyarakat, BPN, KPH, Dinas Pertahanan dan PT THL.
“Kami sudah menyampaikan kepada PT THL bahwa masalah ini akan diselesaikan di DPRK. Kita cari solusi bersama. Program Redis ini penting karena memberikan legalitas kepemilikan tanah kepada masyarakat,” tambahnya.
Menurut pihak PT THL, keberatan mereka disebabkan oleh ketidaksesuaian antara peta kerja BPN dan peta milik perusahaan.
Mereka juga menilai BPN tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak perusahaan sebelum melakukan pengukuran.
“BPN kan sudah punya pedoman kerja dan peta mereka. Tapi masalahnya, peta ini ternyata berbenturan dengan peta milik PT THL. Ini yang menjadi akar konflik,” jelas Anwarsyah.
Anwarsyah menegaskan, masyarakat Simpang Tiga Uning telah lama mendiami wilayah tersebut.
Desa ini merupakan salah satu kampung tertua di Linge yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan. Tanah-tanah di wilayah ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
“Ini kampung tua, sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tanah ini sudah kami kuasai sejak zaman nenek moyang. Bagi masyarakat, tidak ada masalah. Permasalahan muncul karena adanya perbedaan peta antara BPN dan PT THL,” ujarnya.
Anwarsyah berharap, pertemuan di DPRK itu dapat memberikan titik terang atas polemik ini.
Ia mengingatkan pentingnya program Redis ini bagi masyarakat desa terpencil yang selama ini belum memiliki sertifikat tanah.
“Kalau masalah ini tidak selesai, masyarakat akan rugi besar. Program Redis seperti ini jarang turun, dan BPN juga mendorong agar semua APL (Area Penggunaan Lain) di kampung kami bisa disertifikatkan. Sayang kalau harus terhenti,” tegasnya.
Program Redis 2024 sejatinya membawa angin segar bagi masyarakat Simpang Tiga Uning. Namun, tanpa penyelesaian konflik ini, impian masyarakat untuk mendapatkan legalitas tanah masih jauh dari kenyataan.
Rapat kerja itu dipimpin langsung oleh Ketua Komisi A DPRK Aceh Tengah, Fahrijal Kasir dan anggotanya. Turut dihadiri Asisten Mursyid, Kabag Hukum, KPH, PT THL, Camat Linge dan aparatur desa Simpang Tiga Uning serta Aparat Desa Pantan Nangka.
| ARINOS