HARIE.ID | TAKENGON – Gelombang suara dari masyarakat Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, kian nyaring terdengar.
Mereka kompak menolak rencana penutupan PT Jaya Media Internusa (JMI), pabrik pengolahan getah pinus yang selama lima tahun terakhir menjadi nadi ekonomi warga setempat.
Belakangan, perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) itu diterpa berbagai polemik, mulai dari isu Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga tudingan yang menyeret nama perusahaan ke ranah konflik kepentingan.
Namun di tengah riuh tuntutan penyegelan, masyarakat justru bersuara lantang: “Jangan tutup pabrik JMI”.
Warga Isaq dan sejumlah karyawan membentangkan berbagai poster. Dalam salah satu spanduk terbaca, “Kami karyawan PT Jaya Media Internusa menolak penutupan pabrik PT.JMI”.
Poster lain, “Kami masyarakat Isaq mendukung PT JMI tetap beroperasi.”
Menurut Rahmad Andika, tokoh pemuda Linge, keberadaan pabrik tersebut sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat lokal.
“Sebagian besar pekerjanya adalah warga sini. Hampir lima tahun kami hidup berdampingan dengan baik. Kalau ada persoalan, pihak pabrik selalu mau duduk bersama mencari jalan keluarnya,” ujarnya, Selasa 14 Oktober 2025 saat dikonfirmasi Harie.id.
Nada senada disampaikan Musda, tokoh pemuda Isaq. Ia mengaku heran dengan munculnya opini yang menyebut pabrik merugikan masyarakat.
“Kami justru merasakan manfaatnya. Lapangan kerja terbuka, harga getah stabil, dan ekonomi kampung jadi hidup,” katanya.
Menurutnya, yang kini paling dikhawatirkan warga bukanlah soal konflik, melainkan ancaman ekonomi jika pabrik benar-benar disegel.
“Kalau pabrik tutup, getah tidak laku, harga anjlok, dan masyarakat kehilangan sumber pendapatan utama. Ini bukan sekadar soal industri, tapi soal perut rakyat,” tegasnya.
Musda menambahkan, PT JMI selama ini berperan sebagai penyeimbang ekonomi masyarakat pegunungan Linge yang sebagian besar bergantung pada hasil hutan non-kayu.
“Harapan kami sederhana, biarkan pabrik tetap beroperasi. Persoalan lain bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Jangan sampai rakyat kecil jadi korban tarik-menarik kepentingan,” pungkasnya berharap situasi kembali tenang.
Terpisah, Hendra, salah satu karyawan PT JMI, mengaku cemas mendengar kabar rencana penyegelan itu.
Ia mengatakan, bagi para pekerja, pabrik bukan sekadar tempat mencari nafkah, melainkan harapan hidup keluarga.
“Kami semua warga disini. Gaji dari pabrik ini kami pakai untuk kehidupan sehari – hari, membiayai anak dan istri. Kalau ditutup, kami mau kerja di mana lagi?” ucapnya dengan nada lirih.
Menurutnya, pihak perusahaan juga kerap memperhatikan kesejahteraan karyawan dan aktif berkontribusi sosial di kampung.
“Kalau ada kegiatan masyarakat, pihak pabrik sering bantu. Jadi kami berharap, jangan karena persoalan ini, kami yang jadi korban,” pungkas Hendra.
Laporan | Karmiadi