“Namun, satu hal yang pasti, masa-masa ini akan menjadi ujian bagi Haili Yoga dan Muchsin Hasan”
HARIE.ID | Saat ini Aceh Tengah menyambut kepemimpinan baru di bawah duet Haili Yoga dan Muchsin Hasan untuk periode 2025-2030.
Seperti setiap awal pemerintahan, ada harapan, ada optimisme, dan tentu saja ada janji-janji manis yang dulu dilantunkan saat kampanye.
Namun, di dunia nyata, tak semua janji bisa ditepati, terutama ketika angka-angka di buku APBK tak seindah pidato kemenangan.
Dengan anggaran di angka Rp1,3 triliun, ditambah defisit yang harus ditutupi, serta kebijakan pusat yang memaksa daerah untuk melakukan efisiensi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah menghadapi tantangan yang tak bisa dianggap enteng.
Sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto yang tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang diteken pada 22 Januari 2025.
Salah satu poin, Presiden menginstruksikan adanya efisiensi anggaran belanja negara tahun 2025 sebesar Rp 306 triliun.
Anggaran itu terdiri dari anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.
Jika APBK adalah kue, maka ini adalah kue yang terlalu kecil untuk dipotong adil bagi semua.
Sementara rakyat menunggu bukti dari janji-janji kampanye, tim pemenangan tentu akan bertanya “bagian”.
Lalu, bagaimana Haili Yoga dan Muchsin Hasan akan mengelola dengan anggaran lebih banyak disedot oleh efisiensi ketimbang dialirkan untuk pembangunan.
Apakah mampu menari di atas panggung birokrasi dengan sumber daya yang terbatas?
Haili Yoga – Muchsin Hasan berbicara tentang pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat, program pro-petani kopi, hingga keberlanjutan ekonomi daerah yang lebih baik.
Semua terdengar meyakinkan, hingga tiba saatnya anggaran dihitung dan kenyataan menampar dengan keras.
Di meja rapat, angka-angka itu kini berubah menjadi masalah serius. Bagaimana bisa membangun jalan jika Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk bidang jalan justru dipangkas Rp32,6 miliar?
Bagaimana dengan sektor irigasi yang dana untuk itu justru berkurang Rp6 miliar?
Tak hanya itu, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pekerjaan umum juga mengalami pemotongan sebesar Rp24,3 miliar.
Bahkan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang selama ini menjadi salah satu pilar keuangan daerah juga ikut terkena dampak, dipangkas Rp1,6 miliar.
Dengan kata lain, sektor yang selama ini menjadi kebanggaan dalam pembangunan harus rela berhemat.
Sialnya, bukan hanya proyek besar yang terkena imbas. Surat Edaran Bupati Aceh Tengah Nomor 903/317/BPKK menyatakan bahwa berbagai kegiatan seremonial, studi banding, seminar, dan Focus Group Discussion (FGD) juga mengalami pemangkasan.
Itu artinya, pejabat yang biasanya mendapat “refreshing” dengan dalih studi banding mungkin harus puas hanya dengan diskusi internal di kantor.
Tak cukup di situ, perjalanan dinas juga harus direm. Kalau dulu bisa ke luar kota dengan alasan kunjungan kerja, kini mereka harus berpikir dua kali sebelum mengajukan anggaran perjalanan.
Bahkan honorarium tim dan individu yang selama ini menjadi pemasukan tambahan bagi banyak pihak juga mengalami pemangkasan jika dianggap tidak sesuai standar.
Singkatnya, ini bukan lagi sekadar efisiensi, melainkan diet anggaran besar-besaran yang memaksa Pemkab untuk lebih selektif dalam membelanjakan setiap rupiah.
Angka Defisit di tahun 2024 dikabarkan sebesar Rp40 miliar, ditambah lagi dengan tambalan kebutuhan Pilkada beberapa waktu lalu. Saat ini total angka defisit masih dalam proses Review pihak Inspektorat Aceh Tengah.
Anggaran daerah tersedot untuk kebutuhan kedua agenda defisit dan efisiensi ini ditaksir mencapai Rp100 Miliar lebih.
Bagi tim pemenangan jelas ini kenyataan pahit. Harapan untuk mendapatkan bagian (kue-red) memudar di tahun 2025 meski masih ada harapan.
“Jangankan tender, proyek Penunjukan Langsung (PL) pun hampir tak bisa dibagi, tunggu tahun 2026, perjalanan masih panjang,”
Padahal, selama ini, PL adalah harapan bagi banyak pihak yang ingin menikmati hasil perjuangan dalam Pilkada.
Tetapi kini, dengan efisiensi anggaran yang begitu ketat, bahkan disertai dengan defisit proyek-proyek kecil pun harus dikaji ulang sebelum diberikan kepada pihak tertentu.
Bagi tim, ini adalah dilema besar. Mereka yanh bekerja siang-malam demi kemenangan pasangan ini kini mulai bertanya-tanya, apakah perjuangan mereka akan sebanding dengan hasil yang diterima?
Ataukah mereka hanya akan menjadi bagian dari daftar panjang pendukung yang kecewa?
Meski badai efisiensi dan defisit menghantam, Haili Yoga dan Muchsin Hasan tentu tak bisa sekadar mengangkat tangan.
Keduanya harus kejar tayang menyusun strategi agar tetap bisa menjalankan program-program prioritas.
Fokus anggaran kini harus benar-benar diarahkan program yang memberi dampak nyata bagi masyarakat, bukan sekadar ajang pencitraan.
Tapi tantangannya, bagaimana meyakinkan rakyat bahwa efisiensi ini adalah jalan terbaik?
Bagaimana menjelaskan kepada masyarakat bahwa pembangunan mungkin tak secepat yang dijanjikan karena keterbatasan anggaran? Bagaimana menghadapi kritik dari berbagai pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini?
Pemerintahan yang baru ini harus lebih kreatif dalam mengelola keuangan daerah.
Haili – Muchsin harus mampu mencari alternatif pendanaan, baik melalui investasi swasta, kerja sama dengan pemerintah pusat, atau bahkan memanfaatkan dana hibah dari berbagai sumber.
Tanpa langkah-langkah inovatif, bisa saja terjebak dalam situasi stagnan di mana pemerintahan berjalan tetapi tanpa gebrakan berarti.
Bagi masyarakat Aceh Tengah, harapan tetap ada. Meski anggaran terbatas, pembangunan tetap harus berjalan. Meski janji kampanye harus dikaji ulang, kesejahteraan rakyat tetap harus menjadi prioritas.
Namun, satu hal yang pasti, masa-masa ini akan menjadi ujian bagi Haili Yoga dan Muchsin Hasan.
Jika mereka mampu mengelola pemerintahan dengan baik meski dalam keterbatasan, maka mereka akan dikenang sebagai pemimpin yang tangguh.
Tapi jika mereka justru tenggelam dalam permasalahan birokrasi dan politik anggaran, maka mereka hanya akan menjadi tambahan dalam daftar panjang pemimpin yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak berarti.
Lima tahun ke depan akan menjadi panggung untuk membuktikan diri. Apakah benar-benar siap membawa Aceh Tengah ke arah yang lebih baik? Ataukah mereka hanya akan sibuk mencari cara untuk bertahan di tengah badai kritik dan tekanan fiskal?
Yang jelas, bagi masyarakat, mimpi pembangunan tetap ad, meski harus bersiap dengan kenyataan bahwa tidak semua janji akan terwujud secepat yang diharapkan.
| ARINOS