HARIE.ID, TAKENGON | Dalam upaya mengatasi konflik manusia dan satwa liar, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah resmi memulai konsultasi publik Rencana Aksi Daerah (RAD) Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Satwa Liar untuk periode 2025–2029.
Kegiatan tersebut digelar di Aula Bappeda Aceh Tengah, Rabu 15 Januari 2025.
Turut dihadiri Direktur WALHI Aceh Ahmad Shalihin, perwakilan WWF Aceh Indonesia Cik Rini, Akademisi Universitas Syiah Kuala Prof. Abdullah, hingga para Reje dan tokoh masyarakat dari kawasan yang terdampak konflik satwa liar.
PJ Sekda Aceh Tengah, Erwin Pratama menyoroti pentingnya sinergi lintas sektor dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya gajah Sumatera.
“Konflik manusia-gajah di Aceh Tengah bukan hanya tantangan konservasi, tetapi juga ancaman bagi kesejahteraan masyarakat, terutama petani. Kita perlu mencari solusi yang adil, di mana ekosistem tetap terjaga tanpa mengorbankan kebutuhan hidup masyarakat,” tegasnya.
Erwin mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir, Aceh Tengah mencatat 89 insiden konflik manusia-gajah dengan kerugian materi mencapai Rp 6 miliar.
Konflik ini mayoritas melibatkan kerusakan lahan pertanian, pemukiman, hingga ancaman keselamatan warga.
“Upaya mitigasi seperti pemasangan pagar listrik dan penggunaan gajah terlatih telah dilakukan, tetapi tanpa koordinasi yang kuat, langkah ini tidak akan cukup,” ujarnya.
Ia juga mendorong pembentukan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) sebagai wadah koordinasi lintas sektor yang mampu memantau pergerakan gajah, memberikan edukasi kepada masyarakat, serta merumuskan langkah mitigasi berbasis data.
RAD Perlindungan Satwa Liar Aceh Tengah 2025–2029 menawarkan sembilan strategi, termasuk pengelolaan populasi, perlindungan habitat, penegakan hukum, hingga penguatan kelembagaan dan inovasi berbasis masyarakat.
Erwin mengajak masyarakat untuk menjadi garda terdepan melalui diversifikasi mata pencaharian yang ramah lingkungan, seperti ekowisata berbasis konservasi.
“Ekosistem yang terjaga adalah investasi bagi masa depan. Kita perlu mengubah pola pikir dari eksploitasi menjadi pelestarian yang memberikan manfaat berkelanjutan,” tambahnya.
Terkait pendanaan, Erwin mendorong kolaborasi dengan sektor swasta melalui CSR, serta penggalangan dukungan dari lembaga internasional berbasis ekosistem.
“Keterbatasan anggaran bukan alasan untuk berhenti, melainkan tantangan untuk berinovasi dalam mencari solusi,” katanya.
Terakhir, Erwin menekankan keberlanjutan ekosistem Aceh Tengah adalah tanggung jawab bersama.
“Dengan kerja sama yang solid, kita dapat mengurangi konflik, melestarikan satwa liar, dan memastikan masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari lingkungan yang terjaga,” pungkasnya.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi publik, di mana peserta memberikan masukan strategis untuk implementasi RAD. Langkah ini diharapkan menjadi momentum nyata dalam menciptakan harmoni antara manusia dan satwa liar di Aceh Tengah.
| REL