Mahar Politik untuk Berlayar, Gratis atau “Omong Pesot”

50
SHARES
275
VIEWS

Catatan Redaksi 

HARIE.ID, TAKENGON | Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 sudah mulai berwarna di Kabupaten Aceh Tengah.

Sejumlah tokoh mulai mendaftarkan diri ke Partai Politik (Parpol) yang memperoleh kursi pada Pileg Pemilu 14 Februari 2024 lalu.

BACA JUGA

Menyeruak nama – nama politisi, terkecuali nama yang menempuh jalur independen untuk merebut BL I G di Kabupaten Aceh Tengah.

Partai “Penguasa” Kursi di DPRK Aceh Tengah telah ditentukan oleh penyelenggara Pemilu (KIP) Aceh Tengah, bahkan, sudah diketahui sejumlah Parpol yang memiliki Fraksi penuh.

Ada sejumlah Partai lain yang turut memperoleh kursi dan memiliki kekuatan untuk mengusung pasangan calon atau koalisi lintas Partai ikut memanaskan mesin untuk sampai ke tujuan.

Kini hangat diperbincangkan terkait “Mahar Politik”, lantaran, Partai telah membuka persyaratan untuk putra putri terbaik Aceh Tengah untuk diusung sebagai bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati.

Dalam satu perahu, tak ayal, sosok yang mendaftar lebih dari satu. Hal ini telah santer dibicarakan di daerah berhawa sejuk itu.

Tak ada makan siang gratis hal lumrah yang santer kita dengar. Pepatah populer sejak 1930-an ini menyampaikan pandangan tidak mungkin mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma.

Mahar politik cenderung menjadi bahagian yang tak terlepas dari pengusungan sejumlah nama ke publik.

Mahar politik uang adalah induk dari korupsi di sebuah Negeri. Salah satu bentuk politik uang yang banyak terjadi adalah pemberian mahar politik kepada partai.

Praktik ini akan merusak demokrasi, sekaligus menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten dan korup.

Mahar Politik adalah sejumlah uang yang diberikan orang atau lembaga kepada partai politik atau koalisi partai dalam proses pencalonan kepal daerah atau seseorang yang akan di usung.

Dari pengertian tersebut, politik uang jenis ini terjadi di tahap pencalonan oleh Partai, pemberi mahar bisa siapa saja, baik dari internal atau eksternal.

Sering juga dikenal dengan istilah “Uang Perahu”. Seseorang membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar dicalonkan.

Mahar diberikan untuk mendapat “Tiket” dan restu dari Parpol. Mereka berargumen, ini perlu untuk menggerakkan mesin politik.

“Stempel” itu mahal, jarang diketahui secara kasat mata, namun, praktek ini kerap saja terjadi saat proses pencalonan.

Aspek ini membuat ongkos politik di Indonesia sangat mahal. Nilai transaksi di bawah tangan ini sangat fantastis, bahkan, dugaan nilai per kursi turut di “tawar”.

Semakin besar uang yang dikeluarkan tentu semakin besar peluang kandidat itu untuk diusung Partai.

Para kontestan harus merogoh kocek lewat rekening Gold dan tidak bisa ditarik di ATM simpang lima. Harus lewat Bank induk dan butuh pengawalan atau kirim lewat aplikasi mobile.

Nilai mahar bahkan terkadang lebih besar dari total harta kandidat pemberinya. Ini bisa saja terjadi. Bahkan, ada pendana di balik mahar politik, baik pengusaha, individu, atau pihak swasta.

Pendana ini otomatis muncul, seperti bandar turut mencukongi mahar politik. Karena tidak ada yang gratis.

Parahnya lagi, jika terpilih, sosok ini akan menguntungkan dirinya sendiri karena berpikir untuk balik modal.

Kendati mahar politik telah menjadi sebuah rahasia umum, namun pembuktiannya sulit dilakukan, lantaran dilakukan dengan terbatas dan rahasia.

Selain itu, untuk membuktikan mahar politik, mesti ada pengakuan dari pemberi. Adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan. Ini sulit terealisasi.

Praktek korupsi ini dampak nya sangat buruk, baik bagi demokrasi, regulasi, dan masyarakat secara luas.

Kandidat yang terpilih karena mahar politik terbukti belum memiliki integritas dan kapasitas menjadi pemimpin.

Dengan mengandalkan uang, figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, dan merasa bisa menang dengan cara apapun, bukan yang kuat berintegritas dan ideal.

Selain itu, terpilih karena mahar politik membuat seseorang akan putar otak mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk mengikat restu dari partai.

Akhirnya setelah duduk di kursi eksekutif, regulasi yang dihasilkan hanya menguntungkan diri dan kelompoknya saja, bukan bermuara pada rakyat.

Jika karakter Aceh Tengah terus dilakukan seperti ini, dampak nya terus berkelanjutan, perilaku “ketok palu” (penetapan -red) rentan korupsi.

Salah satu produk yang dihasilkan, regulasi yang dikeluarkan lebih menguntungkan dirinya sendiri, tolak ukur yang dilakukan adalah balik modal.

Mahar politik merusak demokrasi dan sistem pengkaderan Partai. Mahar bisa menggeser figur-figur potensial yang berintegritas di partai dengan sosok baru yang berani bayar mahal.

Terakhir yang mendapatkan tiket Partai Politik adalah yang berani membayar lebih besar, bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensi kader.

Saat ini yang kerap di sebut – sebut, bukan hanya elektabilitas, integritas, melainkan satu faktor yang menjadi penentu adalah “Isi Tas”.

Semoga Aceh Tengah jauh dari praktek korupsi ini. Kabupaten negeri seribu Aulia ini butuh sosok yang mampu membangun negeri ini dan mensejahterakan masyarakat secara umum.

Slogan politik tanpa mahar diharap bukan hanya “Omong Pesot (red-gayo), artinya, bukan hanya slogan – slogan yang muncul ke publik (omong kosong), melainkan realita nyata yang diterapkan demi sosok yang terbaik untuk Aceh Tengah. Semoga!.

[ ARINOS ]

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI