27 Pegawai IAIN Takengon Dirumahkan! Sindiran Profesor Seperti Gajah Lupa Daratan 

105
SHARES
583
VIEWS

“Dalam kepemimpinan, yang diingat orang bukan hanya keputusan yang diambil, tetapi juga cara dan bahasa yang digunakan dalam menyampaikannya”

HARIE.ID, TAKENGON | Di jantung Kota Takengon, berdiri megah sebuah institusi yang menjadi kebanggaan masyarakat Gayo, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon.

Kampus berlambang Gajah Putih ini berdekatan dengan gedung DPRK dan Kantor Bupati Aceh Tengah, bukan hanya pusat pendidikan tetapi juga simbol kemajuan intelektual di tanah dataran tinggi.

BACA JUGA

Namun, kampus yang seharusnya menjadi tempat ilmu dan kebijaksanaan justru terseret dalam pusaran polemik yang tak mengenakkan.

Sebanyak 27 pegawai yang telah dinyatakan lulus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kini menghadapi situasi yang jauh dari ekspektasi mereka.

Alih-alih segera dilantik dan mulai mengabdi di kampus tempat mereka berjuang, mereka justru “dirumahkan” hingga menjelang pelantikan 01 Maret tahun 2026 namun tanggal ini juga belum pasti, bisa dipercepat bisa saja semakin diperlambat.

Empat tenaga dosen dan 23 tenaga pendidik ini bukan karena mereka tidak kompeten, bukan pula karena kesalahan mereka sendiri, melainkan kebijakan dari pemerintah pusat yang mengharuskan penundaan pelantikan.

Di dunia akademik, kebijakan keras kadang tak terhindarkan. Tapi, di balik aturan, ada cara yang lebih elegan untuk menyampaikannya. Dan di sinilah letak api yang membara.

Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MCL dengan gelar ini tentu ia adalah seorang intelektual, seorang pemimpin di lingkungan kampus, tentu diharapkan memiliki kepekaan dalam berkomunikasi.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menenangkan hati 27 pegawai yang sedang terombang-ambing dalam ketidakpastian, sebuah kalimat meluncur dari bibirnya yang membuat luka itu semakin terasa dalam:

Belin mi Nye Empus – Empusa, Kam dalih ne berharap kin Pegawai PPPK,” kata Prof Ridwan seperti dikutip dari Kabargayo.co.id, Rabu 12 Maret 2025.

Arti dari pernyataan itu, “Kalian beli terus kebun, tidak usah lagi berharap untuk Pegawai PPPK,”.

Sebuah pernyataan yang mungkin terdengar ringan bagi sang profesor, tetapi terasa berat bagi mereka yang menjadi sasarannya.

Dalam nada ini, seolah-olah kesulitan yang dialami oleh 27 pegawai ini adalah perkara remeh-temeh yang bisa diatasi dengan sekadar membeli kebun, seolah-olah mereka adalah tuan tanah yang hanya menunggu waktu untuk panen.

Di manakah empati? Di manakah kebijaksanaan yang seharusnya menjadi ciri khas seorang akademisi? Seharusnya, seorang profesor paham bahwa kata-kata bukan hanya sekadar suara yang keluar dari mulut, tetapi juga memiliki daya hantam yang bisa menyentuh atau justru menghancurkan hati seseorang.

Kebijakan yang dijatuhkan mungkin masih bisa diterima, tetapi ketika cara penyampaiannya dilakukan dengan nada yang meremehkan, luka yang ditimbulkan bisa lebih dalam daripada sekadar menunggu pelantikan di tahun 2026.

Untuk para pegawai yang sedang diuji ketabahannya, ingatlah bahwa kesabaran selalu berbuah manis.

Status boleh saja menggantung namun kompetensi dan dedikasi tidak akan pernah tergantikan.

Jika ada yang menganggap waktu mengabdi hanya sia-sia, jangan biarkan itu menjadi beban. Justru gunakan ini sebagai batu loncatan untuk menambah ilmu, memperkuat mental, dan membangun jaringan yang lebih luas.

Kampus memang tempat mencetak akademisi, tetapi pengalaman lah yang mencetak pribadi-pribadi tangguh.

Hari ini mungkin kalian merasa diabaikan, tetapi esok bisa jadi kalian yang akan berdiri gagah membuktikan bahwa kesabaran dan kerja keras tak pernah mengkhianati hasil.

Dan untuk para pemimpin di dunia akademik, ingatlah satu hal, ilmu tanpa adab adalah kehampaan, dan kebijakan tanpa empati adalah ketidakadilan.

Sebab dalam kepemimpinan, yang diingat orang bukan hanya keputusan yang diambil, tetapi juga cara dan bahasa yang digunakan dalam menyampaikannya.

Sebaik-baiknya pemimpin bukanlah mereka yang pintar dalam berlogika, tetapi mereka yang juga mampu menjaga hati orang-orang yang dipimpinnya.

Lipe Boh Mate, Ranting Enti Mupolok,” kalimat ini tentu populer di Gayo.

Maknanya, maksud tercapai tidak ada yang terlukai. Semua kembali ke pola komunikasi.

“Pak Rektor, ubah pola komunikasi yang baik, rangkul semua pihak,” mungkin ini pesan yang cocok untuk pak Rektor.

| RED

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI